Sunday, January 20, 2019

Ublagers: CONTOH MAKALAH TENTANG POLITIK

title


A.
PENDAHULUAN





Kehidupan
manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik
suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa
akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum,
biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan
akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk
pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu
partai politik tertentu dan sebagainya.





Setiap warga
negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek
politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya
dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik
politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau
berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung,
berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.





Kehidupan
politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga
negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah
(non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan
pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem
politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur
pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya,
pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.





Budaya politik,
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi
masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan,
proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat
terhadap kekuasaan yang me­merintah.





Kegiatan
politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas.
Dengan demikian, budaya politik langsung
mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber
masyarakat





B.
PENGERTIAN BUDAYA POLITIK





1. Pengertian Umum Budaya Politik





Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama
oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda
pula budaya politiknya, seperti antara
masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O"G Anderson, kebudayaan
Indonesia cenderung membagi secara tajam antara
kelompok elite dengan kelompok massa.





Almond dan Verba
mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga
negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap
peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana
distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat
bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa
mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan
berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka
menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.





Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan
sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :





a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas
pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos.
Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian
besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.





b. Budaya politik dapat dilihat dari
aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi,
atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan
ciri-ciri budaya politik, seperti
militan, utopis, terbuka, atau tertutup.





c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.





d. Bentuk
budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong
inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas
(mempertahankan status quo atau men­dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).





Dengan
pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman
konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu.
Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam
memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak
ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat
aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya
fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari
orientasi individual.







2. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli





Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya
politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita
ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan
konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan
rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu
politik tentang budaya politik.





a. Rusadi Sumintapura





Budaya politik
tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap
kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.





b. Sidney Verba





Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol
ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik
dilakukan.





c. Alan R. Ball





Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan,
emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan
isu-isu politik.





d. Austin Ranney





Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan
pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi
terhadap objek-objek politik.





e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell,
Jr.





Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang
berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang
terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.





Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau
menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang
budaya politik sebagai berikut :





Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih
mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan
pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap,
nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang
menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik
adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik
yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem
politik.





Kedua : hal-hal
yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap
berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik.
Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap
komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam
sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem
politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran
struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari
keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga
legislatif, eksekutif dan sebagainya.





Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan
komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau
mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu.
Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan
refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi
terciptanya sistem politik yang ideal.





3. Komponen-Komponen Budaya Politik





Seperti dikatakan oleh Gabriel A.
Almond
dan G. Bingham
Powell, Jr.,
bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis
dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney,
adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi
terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya
proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka
komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang
terkategori menjadi beberapa unsur.





Menurut Ranney,
terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive
orientations
) dan orientasi afektif (affective oreintatations).
Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada
apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi,
bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.





Orientasi
kognitif
: yaitu berupa pengetahuan tentang dan
kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan
outputnya.





Orientasi
afektif
: yaitu
perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.





Orientasi
evaluatif
: yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek
politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan
informasi dan perasaan.





C.
TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK





1.
Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan





Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memper­padukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap
orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya
politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.





a. Budaya Politik Militan





Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan
menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah
kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan
yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.





b. Budaya Politik Toleransi





Budaya politik
dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha
mencari konsensus yang wajar yang mana
selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.





Jika pernyataan umum dari pimpinan
masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat men­ciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan
bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu
mengundang kerja sama. Berdasarkan
sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :





a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental
Absolut





Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki
nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah
intensifikasi dari kepercayaan,
bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak
atau menyerang hal-hal yang baru atau
yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap
tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka,
tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.





b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental
Akomodatif





Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia
menerima apa saja yang dianggap berharga.
Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan
masa kini.





Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap
perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap
sebagai suatu tantangan yang
berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyim­pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat
perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna





2.
Berdasarkan Orientasi Politiknya





Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa
variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter
dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik
yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya
politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.





Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel
Almond
mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :





a. Budaya politik parokial (parochial
political culture
), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah,
yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).






b. Budaya politik kaula (subyek
political culture)
, yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik
sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.





c. Budaya politik partisipan (participant
political culture)
, yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran
politik sangat tinggi.





Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya
budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas.
Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah
sebagai berikut.


















No



Budaya Politik



Uraian / Keterangan



1.



Parokial



a. Frekuensi orientasi terhadap sistem
sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan
pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.



b. Tidak terdapat peran-peran politik yang
khusus dalam masyarakat.



c. Orientasi parokial menyatakan alpanya
harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem
politik.



d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun
dari sistem politik.



e. Parokialisme murni berlangsung
dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik
berada pada jenjang sangat minim.



f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat
afektif dan normatif dari pada kognitif.



2.



Subyek/Kaula



a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang
tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari
sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara
khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.



b. Para subyek menyadari akan otoritas
pemerintah



c. Hubungannya terhadap sistem plitik
secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan
hubungan yang pasif.



d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana
tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.



e. Orientasi subyek lebih bersifat
afektif dan normatif daripada kognitif.



3.



Partisipan



a. Frekuensi orientasi politik sistem
sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi
sebagai partisipan aktif mendekati satu.



b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota
masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik
secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta
administratif (aspek input dan output sistem politik)



c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap
obyek politik



d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.




Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti
bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem
politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki
kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa
mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan
dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok
protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.





Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya
demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara
dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu
menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau
keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang
ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk
terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam
politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam
masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar
warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan
kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.





Budaya Politik subyek lebih
rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya
ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki
perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang
lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga
terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil
terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan
masalah-masalah politik.





Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik
subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh
terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan
pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan
keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan
artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap
berjalannya sistem politik.





Budaya Politik parokial merupakan
tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak
merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih
mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan
terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa
yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem
politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.





Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki
minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi
politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan
institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba
membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat
institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa
dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di
Afrika, Asia, dan Amerika Latin.





Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik
murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di
antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba
tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :





a. Budaya politik subyek-parokial (the
parochial- subject culture
)





b. Budaya politik subyek-partisipan (the
subject-participant culture
)





c. Budaya politik parokial-partisipan (the
parochial-participant culture
)





Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat
dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut :













Model-Model
Kebudayaan Politik



Demokratik
Industrial



Sistem Otoriter



Demokratis
Pra Industrial



Dalam sistem ini cukup banyak aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai poli-tik dan kehadiran pemberian
suara yang besar.



Di sini
jumlah industrial dan modernis sebagian kecil,
meskipun terdapat organisasi politik dan partisipan politik seperti
mahasiswa, kaum in-telektual dengan
tindakan persuasif menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian besar jumlah rakyat hanya menjadi
subyek yang pasif.



Dalam sistem ini hanya terdapat sedikit sekali parti-sipan dan sedikit
pula keter-libatannya dalam peme-rintahan



Pola
kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik, menuntut konformitas atau
mendorong aktivitas. Di negara berkembang seperti Indonesia, pemerintah
diharapkan makin besar peranannya dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas menyangkut tuntutan
atau harapan akan dukungan dari
rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa dirinya penting,
maka dia menuntut rakyat menunjuk­kan
kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite yang menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat pembangunan, maka
elite itu sedang mengembang­kan pola kepemimpinan inisiatif rakyat dengan
tidak mengekang kebebasan.





Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang kuat dari
rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama politik, yaitu politik
dikembang­kan berdasarkan ciri-ciri agama
yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut merupakan usaha
percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan
yang dominan dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.





David Apter memberi gambaran tentang
kondisi politik yang menimbulkan suatu agama
politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi politik yang terlalu sentralistis
dengan peranan birokrasi atau militer yang terlalu kuat.
Budaya politik para elite berdasarkan budaya
politik agama tersebut dapat mendorong atau menghambat pembangunan karena massa rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite
politik.






D. SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK





1.
Pengertian Umum





Sosialisasi
Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang
berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik
demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan
proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.





Keterlaksanaan
sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan di mana seseorang/individu
berada. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman­-pengalaman serta kepribadian seseorang.
Sosialsiasi politik, merupakan proses yang ber­langsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi
di antara kepribadian individu dengan
pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan,
nilai-nilai, dan sikap­-sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk
satu layar persepsi, melalui mana individu
menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.





Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana
individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai,
dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya.
Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja
menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi,
apakah akan menuju kepada stagnasi atau
perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang
aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila
legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis
terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi





2.
Pengertian Menurut Para ahli





Berbagai
pengertian atau batasan mengenai sosialisasi politik telah banyak dilakukan
oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan pengertian-pengertian tentang
budaya politik, sistem politik dan seterusnya, meskipun diantara para ahli
politik terdapat perbedaan, namun pada umumnya tetap pada prinsip-prinsip dan
koridor yang sama. Berikut ini akan dikemukana beberapa pengertian sosialisasi
politik menurut para ahli.





a. David F.
Aberle, dalam “Culture and Socialization





Sosialisasi
politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah laku,
yang menanamkan pada individu-individu keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu
pengetahuan), motif-motif dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan
peranan-peranan yang sekarang atau yang tengah diantisipasikan (dan yang terus
berkelanjutan) sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru
masih harus terus dipelajari.





b. Gabriel A.
Almond





Sosialisasi
politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap politik dan pola-pola
tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi
suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan
keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.





c. Irvin L. Child





Sosialisasi
politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang dilahirkan dengan
banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan
tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi
kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar dari
kelompoknya.





d. Richard E.
Dawson dkk.





Sosialisasi
politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan
pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana
sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak
dewasa.





e. S.N. Eisentadt,
dalam From Generation to Ganeration





Sosialisasi
politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa
individu-individu yang secara bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi
umum. Oleh Mochtar Mas’oed disebut dengan transmisi kebudayaan.





f. Denis Kavanagh





Sosialisasi
politik merupakan suatu proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan
pandangannya tentang politik.






g. Alfian





Mengartikan
pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi
politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai
yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun.
Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan perilaku politik baru yang
mendukung sistem politik yang ideal tersebut, dan bersamaan dengan itu lahir
pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan Alfian, ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yakni:





pertama :
sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang berjalan
terus-menerus selama peserta itu hidup.





Kedua
: sosialisasi politik dapat
berwujud transmisi yang berupa pengajaran secara langsung dengan melibatkan
komunikasi informasi, nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik
secara tegas. Proses mana berlangsung dalam keluarga, sekolah, kelompok
pergaulan, kelompok kerja, media massa, atau kontak politik langsung.






Dari sekian
banyak definisi ini nampak mempunyai banyak kesamaan dalam mengetengah-kan
beberapa segi penting sosialisasi politik, sebagai berikut.





a. Sosialisasi
secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar dari pengalaman/
pola-pola aksi.





b. memberikan
indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok dalam
batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan pengetahuan atau
informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.





c. sosialisasi itu
tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini
paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.





d. bahwa
sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial, dan
baik secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah
laku sosial.





Dari sekian
banyak pendapat di atas, menurut Michael Rush & Phillip Althoff,
ada dua masalah yang berasosiasi dengan definisi-definisi tersebut di atas.





Pertama
: seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses pelestarian yang
sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan antara sosialisasi
dan perubahan sosial; atau istilah kaum fungsionalis, sebagai pemeliharaan
sistem. Dalam kenyataan tidak ada alasan sama sekali untuk menyatakan mengapa
suatu teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu memperhitungkan: ada
atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial; menyediakan satu teori
yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan tidak membatasi diri
dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa yang diajar, siapa
yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua variabel penting adalah pengalaman
dan kepribadian dan kemudian akan dibuktikan bahwa kedua-duanya,
pengalaman dan kepribadian individu, lebih-lebih lagi pengalaman dan
kepribadian kelompok-kelompok individu- adalah fundamental bagi proses
sosialisasi dan bagi proses perubahan.





Kedua
: adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup tingkah laku, baik
yang terbuka maupun yang tertutup, yang diakses yang dipelajari dan juga bahwa
berupa instruksi. Instruksi merupakan bagian penting dari sosialisasi, tidak
perlu disangsikan, orang tua bisa mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara
tingkah laku sosial tertentu; sistem-sistem pendidikan kemasyarakatan, dapat
memasukkan sejumlah ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa
secara berhati-hati menyebarkan ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi tidak
bisa terlalu ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian terbesar sosialisasi,
merupakan hasil eksperimen; karena semua itu berlangsung secara tidak sadar,
tertutup, tidak bisa diakui dan tidak bisa dkenali.





Istilah-istilah
seperti “menanamkan” dan sampai batas kecil tertentu “menuntun pada
perkembangan”
kedua-duanya cenderung mengaburkan segi penting dari
sosialisasi. Maka Michael Oakeshott menyatakan; “Pendidikan politik
dimulai dari keminkamtaan meminati tradisi dalam bentuk pengamatan dan peniruan
terhadap tingkah laku orang tua kita, dan sedikit sekali atau bahkan tidak ada
satupun di dunia ini yang tampak di depan mat akita tanpa memberikan kontribusi
terhadapnya. Kita menyadari akan masa lampau dan masa yang akan datang, secepat
kesadaran kita terhadap masa sekarang
.”





Jadi, walaupun
kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian bersifat terbuka, sistematik dan
disengaja, namun secar atotal adalah tidak realistis untuk berasumsi bahwa
makna setiap pengalaman harus diakui oleh pelakunya, atau oleh yang melakukan
tindakan yang menyangkut pengalaman tersebut.





Kiranya kita
dapat memahami bahwa sosialisasi politik adalah proses, dengan mana
individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap
terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa
masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin terjadi.
Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi; akan
tetapi apakah hal ini menuju pada stagnasi atau pada perubahan, tergantung pada
keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi
itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya,
maka perubahan mungkin saja terjadi, akan tetapi apabila legitimasi itu
dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tidakmungkin
terjadi stagnasi.






3. Proses Sosialisasi Politik





Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak atau remaja.
Hasil riset David
Easton
dan Robert Hess
mengemukakan bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh
tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik mencakup
perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti "keterikatan kepada sekolah-sekolah mereka", bahwa
mereka berdiam di suatu daerah tertentu. Anak muda
itu mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh
simbol-simbol otoritas umum, seperti agen polisi, presiden, dan bendera
nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh
tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara,
demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara dalam sistem politik.





Peranan
keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting. Menurut Easton dan Hess, anak-anak mempunyai gambaran yang sama mengenai
ayahnya dan presiden selama
bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan
ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak, yaitu sebagai berikut.





a. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi.





b. Perkembangan
pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.





c. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti
kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu).





d. Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.





Suatu penelitian secara khusus telah dilakukan guna
menyelidiki nilai-nilai pengasuhan anak yang dilakukan oleh berbagai
generasi orang tua di Rusia. Nilai-nilai itu
adalah sebagai berikut :





a. Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk
ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi pada umumnya





b. Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran
material mobilitas sosial.





c. Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.





d. Penyesuaian diri; bergaul dengan balk,
menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan dan
ketentraman.





e. Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.





f. Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan
dengan pemerin­tahan.






Sosialisasi
politik
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan mana
orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik.
Adapun sarana alat yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana
dalam sosialisasi politik, antara lain :





1)
Keluarga (family)





Wadah penanaman
(sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah di
dalam keluarga. Di mulai dari keluarga inilah antara orang tua dengan anak,
sering terjadi “obrolan” politik ringan tentang segala hal,
sehingga tanpa disadari terjadi tranfer pengetahuan dan nilai-nilai politik
tertentu yang diserap oleh si anak.





2)
Sekolah





Di sekolah
melalui pelajaran civics education (pendidikan kewarganegaraan), siswa
dan gurunya saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas
topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik teoritis maupun
praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh pengetahuan awal tentang
kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut
pandang akademis.





3)
Partai Politik





Salah satu
fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai sosialisasi
politik. Ini berarti partai politik tersebut setelah merekrut anggota kader
maupun simpati-sannya secara periodik maupun pada saat kampanye, mampu
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan “image” memperjuangkan
kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa
dapat memenangkan pemilu.





Khusus pada
masyarakat primitif, proses sosialisasi terdapat banyak perbedaan.
Menurut Robert Le Vine yang telah menyelidiki sosialisasi di kalangan
dua suku bangsa di Kenya Barat Daya:
kedua suku bangsa tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi dan sifatnya patriarkis.
Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama dan ditandai ciri karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku
Neuer pada dasarnya bersifat
egaliter (percaya semua orang sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii
bersifat otoriter dan agresif. Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati
tradisi mereka masing-masing.







4. Sosialisasi Politik dalam Masyarakat Berkembang





Masalah sentral
sosiologi politik dalam masyarakat berkembang ialah menyang­kut perubahan. Hal ini dilukiskan dengan jelas oleh
contoh negara Turki, di mana satu
usaha yang sistematis telah dilakukan untuk mempengaruhi maupun untuk mempermudah mencocokkan perubahan yang berlangsung
sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha
Kemal
(Kemal Ataturk) berusaha untuk
memodernisasi Turki, tidak hanya
secara material, tetapi juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat pada negara Ghana.





Menurut Robert Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting
dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang,
yaitu sebagai berikut :





a. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka untuk "memodernisasi" keluarga tradisonal lewat
indus­trialisasi dan pendidikan.





b. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat
terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat
memainkan satu peranan penting pada saat
sosialisasi dini dari anak.





c. Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan
perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai
ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan
pembentukan komunitas­komunitas kesukuan dan
etnis di daerah-daerah ini.





5. Sosialisasi Politik dan Perubahan





Sifat sosialisasi politik yang bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan lingkungan
yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat
dari pemerintahan dan derajat serta sifat dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi
utama dari sosialisasi politik Sebaliknya,
semakin besar derajat perubahan dalam satu pemerintahan non totaliter, akan semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari
sosialisasi politik. Semakin totaliter sifat
perubahan politik, semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik itu.





Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan
hasil survei silang nasional (cross-national)
mengenai kebudayaan politik. Penelitian mereka
menyimpul­kan bahwa masing-masing kelima negara yang
ditelitinya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman,
Italia, dan Meksiko, mempunyai kebudayaan politik tersendiri. Amerika dan
Inggris dicirikan oleh penerimaan secara umum terhadap sistem politik, oleh
suatu tingkatan partisipasi politik yang cukup tinggi dan
oleh satu perasaan yang meluas di kalangan para responden bahwa
mereka dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa sampai
pada satu taraf tertentu.





Tekanan lebih besar diletakkan orang-orang Amerika pada masalah partisipasi, sedangkan orang Inggris memperlihatkan rasa
hormat yang lebih besar terhadap pemerintahan mereka.
Kebudayaan politik dari Jerman ditandai
oleh satu derajat sikap yang tidak terpengaruh oleh sistem dan sikap yang lebih pasif terhadap partisipasinya. Meskipun demikian, para respondennya
merasa mampu untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan di Meksiko merupakan bentuk campuran
antara penerimaan terhadap teori politik dan keterasingan dari substansinya.





Suatu faktor kunci di dalam konsep kebudayaan
politik adalah legitimasi, sejauh mana suatu
sistem politik dapat diterima oleh masyarakat. Legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak aspek dari sistem politik atau dapat dibatasi dalam
beberapa aspek. Seperti di Amerika Serikat, kebanyakan orang
Amerika menerima lembaga presiden, kongres, dan MA, tetapi penggunaan hak-hak
dari lembaga tersebut selalu mendapat
kritik dari masyarakat.






6. Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik





Sosialisasi
politik, menurut Hyman merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang
melibatkan baik belajar secara emosional (emotional learning) maupun
indoktrinasi politik yang manifes (nyata) dan dimediai (sarana komunikasi) oleh
segala partisipasi dan pengalaman si individu yang menjalaninya. Rumusan ini
menunjukkan betapa besar peranan komunikasi politik dalam proses sosialisasi
politik di tengah warga suatu masyarakat. Tidak salah jika dikemukakan bahwa
segala aktivitas komunikasi politik berfungsi pula sebagai suatu proses
sosialisasi bagi anggota masyarakat yang terlibat baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam aktivitas komunikasi politik tersebut.





Dalam suatu
sistem politik negara, fungsi sosialisasi menunjukkan bahwa semua sistem
politik cenderung berusaha mengekalkan kultur dan struktur mereka sepanjang
waktu. Hal ini dilakukan terutama melalui cara pengaruh struktur-struktur
primer dan sekunder yang dilalaui oleh anggota muda masyarakat dalam proses
pendewasaan mereka. Menurut G. A. Almond, kata “terutama” sengaja
digunakan karena dalam sosialisasi politik – seperti halnya belajar dalam
pengertian yang umum – tidak berhenti pada titik pendewasaan itu sendiri,
terlepas dari bagaimanapun batasannya pada masyarakat yang berbeda-beda.





Di dalam
realitas kehidupan masyarakat, pola-pola sosialisasi politik juga mengalami
perubahan seperti juga berubahnya struktur dan kultur politik.
Perubahan-perubahan tersebut menyangkut pula soal perbedaan tingkat
keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang beraneka
ragam.






Pada sisi lain,
sosialisasi politik merupakan proses induksi ke dalam suatu kultur politik yang
dimiliki oleh sistem politik yang dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah
seperangkat sikap mental, kognisi (pengetahuan), standar nilai-nilai dan
perasaan-perasaan terhadap sistem politik dan aneka perannya serta peran yang
berlaku. Hasil proses tersebut juga mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai
yang mempengaruhi, serta perasaan mengenai masukan tentang tuntutan dan claim
terhadap sistem, dan output otorotatif-nya.





Berikut adalah
bagan terbentuknya sikap politik (political attitude) melalui proses
sosialisasi politik.





Early Childhood





(Masa kanak-kanak)





Afective Allegiance





(Sikap kesetiaan)





Adolescence





(Masa remaja)





Adulthood





(Masa dewasa)





Cognitive and critical
orientations





(Pemahaman dan tujuan untuk
mengkritisi)





Cognitive partisanship





(Pemahaman yang berpihak)





Afective partisanship





(Sikap yang berpihak)





Cognitive partisanship





(Pemahaman yang berpihak)





Awareness of policy outputs





(Kesadaran terhadap kebijakan
output)





Awareness of ability to influence
policy





(kesadaran untuk mempengaruhi kebijakan)





Dalam proses sosialisasi politik kaitannya dengan
fungsi komunikasi politik, berhubungan dengan struktur-struktur yang terlibat
dalam sosialisasi serta gaya sosialisasi itu sendiri. Pada sistem politik
masyarakat modern, institusi seperti kelompok sebaya, komuniti, sekolah,
kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela, media komunikasi,
partai-partai politik dan institusi pemerintah semuanya dapat berperan dalam
sosialisasi politik. Kemudian perkumpulan-perkumpulan, relasi-relasi dan partisipasi
dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan proses tersebut untuk seterusnya.















Almond, mengatakan
bahwa sosialisasi politik bisa bersifat nyata (manifes) dan bisa pula
tidak nyata (laten).










Sosialisasi
Politik Manifes



Sosialisasi
Politik Laten



Berlangsung
dalam bentuk transmisi informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran,
input dan output sistem politik.



Dalam bentuk
transmisi informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan
output mengenai sistem sosial yang lain seperti keluarga yang mempengaruhi
sikap terhadap peran, input dan output sistem politik yang analog (adanya
persamaan).



Dalam suatu
bangsa yang majemuk dan besar seperti Indonesia, India, Cina dan sebagainya,
informasi yang diterima oleh aneka unsur masyarakat akan berlainan karena
faktor geografis baik yang di kota maupun di desa. Pada sebagian besar negara
berkembang, pengaruh media masa (radio, surat kabar dan televisi) di pedesaan
sangat terbatas. Oleh karena itu, pengaruh struktur-struktur sosial tradisional
dalam menterjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut amatlah besar.
Heterogenitas informasi ini memperkuat perbedaan orientasi dan sikap (attitude)
diantara kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi primer yang amat berbeda
dari kelompok ataupun teman sebaya.





Berbeda dengan
negara yang sudah maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan sebagainya arus
informasi relatif homogen. Para elite politik pemerintahan mungkin mempunyai
sumber-sumber informasi khusus melalui badan-badan birokrasi tertentu, surat
kabar tertentu yang ditujukan pada kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan
demikian, semua kelompok masyarakat mempunyai akses ke suatu arus informasi dan
media massa yang relatif homogen dan otonom sehingga hambatan-hambatan bahasa
atau orientasi kultural sangat minim. Masyarakat dapat melakukan kontrol
terhadap para elite politik dan sebaliknya kaum elite-pun dapat segera
mengetahui tuntutan masyarakat dan konsekuensi dari segala macam tindakan
pemerintah.





E.
PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN





1.
Pengertian Partisipasi Politik





Pembahasan
tentang budaya politik tidak terlepas dari partisipasi politik warga negara.
Partisipasi politik pada dasarnya merupakan bagian dari budaya politik, karena
keberadaan struktur-struktur politik di dalam masyarakat, seperti partai
politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan media masa yang kritis dan
aktif. Hal ini merupakan satu indikator adanya keterlibatan rakyat dalam
kehidupan politik (partisipan).





Bagi sebagian
kalangan, sebenarnya keterlibatan rakyat dalam proses politik, bukan sekedar
pada tataran formulasi bagi keputusan-keputusan yang dikeluarkan pemerintah
atau berupa kebijakan politik, tetapi terlibat juga dalam implementasinya yaitu
ikut mengawasi dan mengevaluasi implementasi kebijakan tersebut.





Partisipasi
Politik
adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara
aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Myron Weiner, terdapat lima
penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik,
yaitu sebagai berikut :





a. Modernisasi
dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut
untuk ikut dalam kekuasaan politik.





b. Perubahan-perubahan
struktur kelas sosial. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan
keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola
partisipasi politik.





c. Pengaruh
kaum intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi partisipasi
telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi
dan industrialisasi yang cukup matang.





d. Konflik
antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, maka yang
dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan kaum
aristokrat yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.





e. Keterlibatan
pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya
ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya
tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam
pembuatan keputusan politik.





2.
Konsep Partisipasi Politik





Dalam ilmu
politik, dikenal adanya konsep partisipasi politik untuk memberi gambaran apa
dan bagaimana tentang partisipasi politik. Dalam perkembangannya, masalah
partisipasi politik menjadi begitu penting, terutama saat mengemukanya tradisi
pendekatan behavioral (perilaku) dan Post Behavioral (pasca
tingkah laku). Kajian-kajian partisipasi politik terutama banyak dilakukan di
negara-negara berkembang, yang pada umumnya kondisi partisipasi politiknya
masih dalam tahap pertumbuhan.





Dalam ilmu
politik sebenarnya apa yang dimaksud dengan konsep partisipasi politik ? siapa
saja yang terlibat ? apa implikasinya ? bagaimana bentuk praktik-praktiknya
partisipasi politik ? apakah ada tingkatan-tingkatan dalam partisipasi politik
? beberapa pertanyaan ini merupakan hal-hal mendasar yang harus dijawab untuk
mendapat kejelasan tentang konsep partisipasi politik.





Hal pertama
yang harus dijawab berkenaan dengan kejelasan konsep partisipasi politik.
Beberapa sarjana yang secara khusus berkecimpung dalam ilmu politik, merumuskan
beberapa konsep partisipasi politik, yang disampaikan dalam tabel berikut :



























Sarjana



Konsep



Indikator



Kevin R. Hardwick



Partisipasi politik memberi
perhatian pada cara-cara warga negara berinteraksi dengan pemerintah, warga
negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap
pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan
tersebut.



· Terdapat interaksi antara warga negara dengan
pemerintah



·
Terdapat usaha warga negara untuk mempengaruhi pejabat publik.



Miriam Budiardjo



Partisipasi politik adalah
kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung
atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).



· Berupa kegiatan individu atau kelompok



· Bertujuan ikut aktif dalam ke-hidupan politik,
memilih pim-pinan publik atau mempenga-ruhi kebijakan publik.



Ramlan Surbakti



Partisipasi politik ialah
keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut
atau mempengaruhi hidupnya.



Partisipasi politik berarti
keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam
mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.



· Keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan publik



· Dilakukan oleh warga negara biasa



Michael Rush dan Philip Althoft



Partisipasi politik adalah
keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem
politik.



· Berwujud keterlibatan individu dalam sistem
politik



· Memiliki tingkatan-tingkatan partisipasi



Huntington dan Nelson



Partisipasi politik ...
kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan
mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah.



· Berupa kegiatan bukan sikap-sikap dan
kepercayaan



· Memiliki tujuan mempengaruh kebijakan publik



· Dilakukan oleh warga negara preman (biasa)



Herbert McClosky



Partisipasi politik adalah
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung
atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.



· Berupa kegiatan-kegiatan sukarela



· Dilakukan oleh warga negara



· Warga negara terlibat dalam proses-proses
politik




Berdasarkan
beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan beberapa
sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap
partisipasi politik yang dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan
sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan
partisipasi politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa,
sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang
dilakukan oleh non-warga negara biasa.

Kesimpulan



Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan
masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi
masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan
pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta
gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.








Source

No comments:

Post a Comment