Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso, menjelaskan beda kampanye negatif dengan kampanye hitam atau black campaign. Dalam hukum kepemiluan, kampanye negatif diizinkan, sedangkan kampanye hitam dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana tertuang di dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c dan Pasal 521.
Pasal 280 ayat (1) huruf c berbunyi, “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain.” Pasal 521, “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i, atau j, dipidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.”
Jika kampanye negatif dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik, maka kampanye hitam adalah menuduh pihak lawan dengan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin. Sebagai contoh, kampanye negatif dalam kontes pemilihan presiden (pilpres) dilakukan dengan mengumbar data hutang luar negeri petahana calon presiden (capres) oleh pihak lawan. Sementara contoh untuk kampanye hitam, menuduh seseorang tidak pantas menjadi pemimpin karena agama atau rasnya.
“Kampanye negatif ini aspek hukumnya sah saja. Bahkan, itu berguna membantu pemilih membuat keputusannya. Misal, ada berita yang menunjukkan data-data, misal hutang luar negeri, itu sah dan bisa saja dikeluarkan. Pemilih akan lebih cerdas memilih,” jelas Topo pada seminar “Politik Transaksional, Korupsi Politik, dan Kampanye Hitam pada Pemilu 2019 dalam Tinjauan Hukum Pidana” di gedung Fakultas Hukum UI, Depok, Jawa Barat (9/10).
Oleh karena kampanye negatif tidak dilarang, maka pihak yang diserang oleh pihak lainnya melalui kampanye negatif semestinya tak lapor ke polisi. Pihak yang bersangkutan dapat membalas dengan mengeluarkan sebuah data valid atau argumen yang dapat membela posisinya. Jika lawan politik melakukan kampanye hitam, suatu pihak baru dapat melaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Lebih menjelaskan, Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Totok Suhartoyo, memaparkan tiga hal pembeda kampanye negatif dengan kampanye hitam. Dari sisi sumber, pelaku kampanye negatif jelas, sedangkan pelaku kampanye hitam tidak jelas. Dari sisi tujuan, kampanye negatif bertujuan untuk mendiskreditkan karakter seseorang, dan kampanye hitam bertujuan untuk menghancurkan karakter seseorang. Kemudian dari sisi kebenaran, kampanye negatif menggunakan data yang sahih, sementara kampanye hitam datanya tak sahih atau mengada-ada.
Menurut Totok, membuktikan seseorang bersalah atas kasus dugaan tindak pidana kampanye negatif bukanlah hal mudah. Biasanya, penyidik menggunakan dua pendekatan. Salah satunya, apakah yang dilakukan oleh terlapor menurunkan harkat martabat seseorang.
“Gimana kalau yang saya sampaikan benar, tapi menyinggung agama tertentu? Itu kan perlu didiskusikan. Ada pertanyaan, apakah terlapor menurunkan harkat dan martabat seseorang meskipun secara fakta itu benar? Jadi, mempersangkakan seseorang itu tidak mudah,” jelas Totok.
Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja menyampaikan, meskipun larangan dan sanksi di UU Pemilu hanya ditujukan kepada pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye, namun orang per orang yang melakukan kampanye hitam di media sosial (medsos) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Kampanye hitam di medsos, kalau bapak/ibu bukan tim kampanye atau pelaksana kampanye, kena UU ITE. Ada ibu-ibu di Depok yang garis keras, yang menghina partai politik tertentu, dijemput polisi. UU ITE lebih kejam dari UU Pemilu,” tandas Bagja.
Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 Ayat (2) UU ITE memberikan ancaman hukuman untuk pelaku kampanye hitam di media sosial 6 tahun penjara.
Source
No comments:
Post a Comment