KOLEKSI PHOTO SOEHARTO
MARI BELAJAR SEJARAH DARI GAMBAR.
Seorang jenderal dalam usia 46 mulai menggenggam kekuasaan yang 
besar. Sejarah sudah membahasnya, dan bahasan itu belum usai. Anda boleh
 kagum sepenuh takzim, boleh pula benci kepadanya — atau seperti banyak 
orang bingung untuk merumuskannya dalam satu kata. Meski saya sangat 
tidak suka kepadanya — ketika dia hidup, saya selalu menyebutnya dalam 
blog sebagai “orang itu” — saya mengakui bahwa dalam dirinya pasti ada 
hal-hal baik bahkan mulia. Dia manusia, bukan iblis, bukan malaikat.
Saya teringat dia karena barusan menemukan foto-foto lama yang dulu, 
sudah lama banget, pernah saya lihat di majalah 
. Foto-foto
 yang sebagian adalah hasil pengarahan dan mengundang tafsir subyektif 
itu. Di kemudian hari, pada puncak kekuasaannya, siapa yang bisa membuat
 dia nyaman dan rileks untuk diatur-atur, dan difoto dari dekat?
Dari jepratan 
, pewarta foto perang itu, saya melihat
 foto-foto penuh percaya diri seorang jenderal yang nyaman menggenggam 
cek kosong sejak awal kekuasaannya, hampir boleh ngapain aja, karena 
banyak orang percaya dan berharap kepadanya.
Foto-foto itu menggambarkan kepercayaan diri yang tinggi tanpa 
menjadi congkak berlebihan, karena dari seorang Jawa introvert, yang 
bercitra 
, selalu ada cara lunak untuk menunjukkan 
kelebihan diri. Mampu mengemas keangkuhan dalam kehalusan.
Saya melihat foto-foto seorang suami dan ayah yang hangat. 
Barangkali, karena kultur kita, maka dia pun menganggap rakyat sebagai 
anak — demikian pula rakyat terhadapnya: bapak. Selebihnya adalah 
knows best
dan dia menjadi
patriarch, menjadi sentrum 
dari segala tafsir tentang kebenaran.
Dia akhirnya menjadi 
(rama, ayahanda, dalam konteks ini
 bukan pastor) yang bahasa tubuhnya, termasuk anggukan kecil, adalah 
sabda nonverbal yang siap ditafsir dan dilaksanakan. Ini seperti cerita 
seorang bekas menteri: jika dia meraih gelas minuman saat mendengarkan 
usulan maka itu berarti penolakan.
Tentang buku, catatan, dan kliping, sudah banyak yang mengumpulkan 
dan mengkajinya. Tetapi bagaimana dengan foto? Mestinya Sekretariat 
Negara, Antara, Pusat Informasi Kompas, dan Pusat Dokumentasi dan 
Analisa Tempo punya ribuan foto yang siap ditafsir. Saya tak tahu apakah
 TVRI menyimpan dokumentasinya dengan baik.
Video TVRI dan foto koran menampilkan 
hal yang tampaknya sederhana dari pidato ke pidato: kacamata dan arloji 
sang jenderal yang sering berganti. Maka orang awam membatin, “Gimana ya
 caranya beli? Kan nggak mungkin jalan-jalan ke toko?”
Kumpulan video TVRI pasti menampilkan seremoni yang layak tafsir. 
Tentang seorang raja yang dari periode ke periode berdiri 
dingin,
 menyambut antrean 
tetamu yang akan berjabat tangan. 
Jarak yang tak bergaris antara dia dan tetamu menghadirkan pemandangan 
sama: tetamu harus membungkuk. Mirip saya menyalami orang-orang (tua).
Demikian pula foto-foto hadirin dalam banyak acara kepresidenen, yang
 karena tuntutan protokoler harus ngapurancang (mempertemukan tangan di 
depan atau bawah perut). Sopan sekaligus aman. Mempermudah pekerjaan 
paswalpres dalam mengawasi.
Itulah sebabnya foto Direktur Pelaksana IMF Michael Camdesus 
bersedekap ketika menyaksikan presiden menandatangani kesepakatan pada 
15 Januari 1998. Adegan itu, seperti sebuah kapitulasi atau penyerahan 
diri seorang pemimpin — bahasa kasarnya: pengakuan keok.
Ada yang tersinggung, ada yang bersorak, terhadap foto itu. Alasan 
Camdessus di kemudian hari sangat menarik. Dia mengikuti ajaran ibunya, 
yaitu kalau sedang kikuk karena tidak tahu harus berbuat apa ya lipatlah
 tangan.
Foto-foto selalu menarik. Mirip kita mengamati foto kawan di 
Facebook. Maka ketika koran-koran mulai dicetak berwarna, rakyat pun 
sadar akan satu hal: pesawat telepon di meja kerjanya, di Bina Graha, 
ternyata berlapis emas.
Foto lain yang tak ada urusannya dengan warna adalah sepasang gading 
gajah di salah satu ruang rumahnya, Jalan Cendana. Ada rak hiasan di 
sana. Orang yang belum pernah ke sana akan menebak, tak adakah jendela 
di ruang itu?
Foto resmi kepresidenen edisi 1993, di
WikipediaIndonesia
, menampilkan sosok yang berjarak, tak tersentuh. Rambut 
yang tak tertutup peci tampak memutih. Dalam usia 72 dia masih tampak 
gagah. Bandingkan empat tahun kemudian, akhir 1997, ketika krisis 
moneter mulai menghimpit Indonesia. Dia tampak menua sekali dan lelah. 
Makin banyak yang bersifat kritis terhadapnya, dan mulai terasa 
pembiaran oleh pihak tertentu terhadap arus yang menentang dan 
menantangnya.
Foto resmi kepresidenan adalah sebuah kewajaran di negeri mana pun. 
Menjadi aneh ketika makin banyak orang tak menyukainya, sehingga seorang
 seorang guru yang mengajar di alma maternya pun menyesal ketika harus 
bertemu wajah kepala negara yang sama tetapi berbeda edisi. Foto orang 
yang dia lihat saat dulu bersekolah.
Dan lihatlah, alangkah banyaknya foto mempelai di gedung resepsi yang
 gebyok atau 
 pelaminannya tidak bisa menutupi foto 
presiden dan wakilnya. Seolah kemarin dan hari ini adalah sama saja. 
Padahal dari waktu ke waktu potret sang presiden berubah. Kesukaan 
maupun ketidaksukaan kita menghasilkan kesamaan: kebosanan untuk 
mengamati lebih jauh.
Itulah foto kepresiden yang secara berlebihan dianggap sebagai faktor
 penambah penduduk Indonesia. Jumlah mutakhir penduduk adalah data 
terakhir dari pemerintah plus foto presiden (karena saking banyaknya dan
 terus bertambah). Ngawur tapi menghibur.
Dia adalah tokoh. Penting pula. Tak mungkin terlupakan. Video awal 
80-an sampai pertengahan 90-an menampakkan seorang penguasa yang tak 
terbantahkan. Ingat bagaimana dia menyatakan akan menggebuk kaum 
?
 Tidak meledak, ada senyum dan menahan tawa, tetapi dingin. Semburat 
kebengisan tergambar di sana.
Dia memang bukan Castro atau Ghaddafi yang kuat mengoceh, tetapi 
dalam gaya kebapakan dia tetap tak terbantahkan, terutama dalam pidato 
tanpa teks dan tanya-jawab. Dehemnya sebelum berkata-kata pun punya 
kekuatan. Inilah era monolog Butet Kertaradjasa dalam menirukan vokal 
maupun gesturnya menjadi katup pelepas orang-orang tertindas.
Ingatan kita tentang seseorang seringkali berupa gambar di benak. 
Visual sifatnya. Ingatan apa yang ada di benak Anda tentang dia? Foto 
resmi itu? Prangko? Atau foto yang lain?
Mari kita tunggu sebuah hasil riset foto terhadap potret Soeharto — 
ya, dialah yang saya maksud sejak tadi — lengkap dengan tafsiran 
subyektifnya. Termasuk foto-foto yang 
tentang dia. Tentu
 kita juga harus kritis bahwa foto tunggal, satu versi pula, hanyalah 
hasil pembekuan sebuah peristiwa. Tanpa memahami konteks kita bisa 
tergelincir dalam menafsir.
Entahlah siapa yang akan melakukan riset foto. Harapan saya sih Anda.
 :)
© Foto-foto lama: 
/Life,
 Desember 1967 | © Foto Soeharto main gitar: entah | © Foto Camdessus 
dan Soeharto : entah

The Smiling General 
oleh O.G. Roeder



Cetakan Pertama th.1969
Printed by Toppan, 
Tokyo-Jepang

Soeharto ketika di promosi menjadi Jenderal
 bintang empat,
mendapat ucapan selamat dari Presiden
Soekarno.

Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 
Garuda Mataram,
Jogjakarta, Juni 1949

Staff Meeting antara Jenderal Soedirman dan
 Let.Kol. Soeharto

Soeharto, Presiden Republik Indonesia -
th.1969
Soeharto The Smiling 
General
Terbit: th. 1969,
ketika Soeharto baru 3 tahun menjabat Presiden Indonesia.
Tebal: 280 halaman dengan banyak Foto2 didalam.Kondisi: bagus, halaman lengkap, jilid 
utuh.tapi Cover jaket luarnya saja yang dengan 
kondisi agak lusuh.Dalam bahasa Inggris / English.Untuk melihat gambar yang lebih besar / 
lebih jelas,click pada gambar yang akan dilihat.Keterangan lebih lanjut mengenai pembelian,
 pengiriman barang,cara pembayaran dll. silahkan Hub. e-mail: neneng1971@yahoo.comatau Hub. HP. 021.9471.2076Pengiriman ke luar kota, tambahkan sedikit 
ongkos kirimuntuk biaya TIKI atau Posindo.Sudah Terjual / 
SOLD 
enderal HM. Soeharto

INILAH.COM, Jakarta Ini 
sebuah penggalan kisah hidup Jenderal Besar HM Soeharto. Bicara prestasi
 kenegaraan, Pak Harto di urutan kedua setelah Panglima Besar Soedirman 
di antara 61 penerima anugerah Bintang Sakti Maha Wira Ibu Pertiwi. 
Tak banyak perwira tinggi yang mendapat anugerah 
kehormatan itu. Tanda kehormatan itu hanya diberikan kepada perwira TNI 
yang dinilai andal dan ahli strategi. 
Perwira
 tinggi TNI lain yang juga mendapat penghargaan itu adalah Jenderal 
Besar TNI Abdul Haris Nasution (alm), Laksamana Muda (Anumerta) Josaphat
 Sudarso, Laksamana TNI (Laut) R Subiyakto, dan Laksamana TNI (Udara) 
Suryadi Suryadarma. 
Karier militer pria 
kelahiran Desa Kemusuk, Godean, Bantul, 6 Juni 1921, ini bermula sebagai
 prajurit Koninklijk Nederlans Indische Leger/Tentara Hindia Belanda 
(KNIL). 
Dengan fisik yang sehat, tegap, 
dan kecerdasan otaknya, Soeharto muda sejak 1 Juni 1940 diterima sebagai
 siswa militer di Gombong, Jawa Tengah. Enam bulan setelah menjalani 
latihan dasar, ia selesaikan sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan
 mendapat pangkat Kopral di usia 19 tahun.
Pos penempatan pertama 
Kopral Soeharto adalah Batalyon XIII, Rampal, Malang. Kemudian Soeharto 
masuk sekolah lanjutan Bintara di Gombong. Berkat sikap keprajuritan dan
 disiplinnya yang tinggi, dalam waktu relatif singkat ia mendapat 
kenaikan pangkat.
Saat pasukan Inggris mendarat di Jakarta, Semarang,
 Surabaya, dan Bandung, pada 29 September 1949, Letkol Soeharto memimpin
 Batalyon X. Bersama pasukan-pasukan lain, pasukan pimpinannya bertempur
 melawan tentara Sekutu di Ambarawa.
Untuk merebut kembali 
obyek-obyek vital di dalam kota, pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) 
didatangkan dari Banyumas, Salatiga, Surakarta, dan Yogyakarta. Pasukan 
Inggris di Magelang dan Ambarawa pun terkepung.
Empat kompi pasukan 
Letkol Soeharto berhasil menduduki Banyubiru dan memukul mundur pasukan 
Sekutu dari Ambarawa. Sejak peristiwa itu, nama Letkol Soeharto mulai 
dikenal sebagai perwira yang cakap di lapangan dan mendapat perhatian 
dari Panglima Besar Soedirman.
Saat Belanda kembali melancarkan 
agresi militer kedua, Februari 1949, Yogyakarta sudah dalam kekuasaan 
Letkol Soeharto. Pasukannya mengadakan konsolidasi di luar Yogyakarta.
Sepuluh
 hari setelah peristiwa itu, Letkol Soeharto dan pasukannya menyiapkan 
serangan balasan ke pos-pos pasukan Belanda di luar Yogya. Soeharto 
menyusun siasat secara saksama sebelum melakukan serangan umum ke Kota 
Yogya.
Menjelang fajar 1 Maret 1949, pasukan Letkol Soeharto mulai 
bergerilya masuk Kota Yogyakarta. Serangan berjalan lancar dan gencar 
sehingga Kota Yogya dapat diduduki dalam waktu enam jam.
Kota Yogya 
direbut kembali dan pasukan TNI merebut berton-ton amunisi dari pasukan 
Belanda. Tapi, ketika pasukan Belanda kembali dengan mesin perang dan 
amunisi lengkap, Letkol Soeharto segera memerintahkan pasukannya mundur 
kembali ke pangkalan masing-masing di luar Kota Yogya.
Serangan yang 
kemudian dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949 sebetulnya bersifat 
politis, yakni untuk mendukung perjuangan dan diplomasi RI di PBB.
Secara
 psikis, serangan itu dilakukan untuk mengobarkan semangat juang rakyat 
agar mendukung, memulihkan, memupuk, dan meningkatkan kepercayaan 
terhadap TNI yang masih setia menumpas musuh.
Peran penting lain 
dalam karier militernya adalah saat ia telah menjadi perwira tinggi. 
Brigjen Soeharto ketika itu ditunjuk sebagai Panglima Mandala untuk 
membebaskan Irian Barat dari Belanda. Operasi itu akhirnya berhasil 
mengembalikan Irian Barat kembali ke Indonesia pada 1 Mei 1963.
Tugas
 paling fenomenal dalam karier kemiliterannya adalah saat menumpas G 30 S
 1965. Saat itu, Soeharto yang menjabat sebagai Pangkostrad berpangkat 
mayor jenderal, memimpin operasi penumpasan PKI yang dituding berada di 
balik aksi pembunuhan enam jenderal pada 30 September 1965. Pimpinan PKI
 dan orang-orang yang diduga terlibat dalam peristiwa itu ditangkap.
Pada
 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto mengemban Surat Perintah 11 Maret 
(Supersemar) untuk membubarkan PKI sekaligus memulihkan stabilitas 
keamanan nasional dan kondisi politik Indonesia.
Jenderal Soeharto 
dilantik sebagai Menteri Utama Bidang Hankam dalam Kabinet 100 Menteri 
(Ampera), Juli 1966. Para demonstran siswa dan mahasiswa serta berbagai 
elemen masyarakat menuntut Bung Karno turun dan Kabinet 100 Menteri 
dibubarkan.
MPRS akhirnya mengukuhkan Jenderal Soeharto menjadi 
Presiden RI menggantikan Soekarno pada Maret 1967. Putra pasangan 
Kertosudiro dan Sukirah ini kemudian menjadi pemimpin sipil hingga 
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
Di bidang kemiliteran, sosok 
Jenderal HM Soeharto termasuk salah satu ahli strategi yang andal di 
Indonesia. Ia telah memimpin berbagai pertempuran dengan penuh 
keberanian.
Pengorbanan, kegigihan, pengabdiannya kepada negara dan 
bangsa, menjadikan salah satu putra terbaik bangsa yang layak mendapat 
anugerah kehormatan Jenderal Besar TNI dan Bintang Sakti.
Sepanjang 32 tahun memimpin Indonesia, HM Soeharto 
juga harus diakui memiliki strategi andal di bidang pembangunan. Ia 
telah membangun berbagai bidang kehidupan dan membuahkan kemajuan pesat 
di penjuru Tanah Air.
Derapnya sebagai 
pencetus dan penguasa Orde Baru, tentu, memunculkan sumbu-sumbu yang 
tidak sepaham dengan garis politiknya. Tapi, dengan berbagai cara, ia 
selalu mampu meredam akselerasi tokoh dan gerakan "oposisi" yang pernah 
selama masa kepemimpinannya.
Krisis 
moneter medio 1997 yang mendera sejumlah negara Asia, terutama di 
Indonesia, akhirnya yang menggiring HM Soeharto ke jurang kejatuhannya. 
Krisis moneter yang memicu krisis politik dan kerusuhan massal itu 
berujung pada pengunduran diri HM Soeharto, 21 Mei 1998. 
Sejak itulah kharisma, peran, jasa, dan figur 
pimpinan berkarakter Jawa kental yang penuh kontroversi ini terbenam 
ditelan gelombang dahsyat reformasi. [I3]
sumber : 
http://www.inilah.com/read/detail/7331/jenderal-besar-ahli-strategi
Fotografer - Andi Saputra
Soeharto selalu di lukiskan sebagai Jenderal yang
 selalu murah senyum. Soeharto yang telah menjabat sebagai presiden 
selama 32 tahun ini telah membuat publik simpatik. Selain dianggap 
sebagai presiden yang paling disukai ternyata Soeharto juga dinilai 
sebagai presiden yang paling berhasil dalam menjalankan tugasnya.
Presiden RI terlama, Jenderal 
Soeharto menuai kontroversi. Namun, menurut Lembaga Survei Indo 
Barometer terakhir, Soeharto merupakan Presiden yang paling disukai 
publik, mengalahkan lima presiden lain termasuk Susilo Bambang 
Yudhoyono.

Selepas
 kepergian Gus Dur, wacana pemberian gelar pahlawan terhadap beliau 
mulai bermunculan. Namun kemudian muncul pula usulan lama yang kembali 
mengemuka, yakni pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto. Melihat 
sepak terjang Gus Dur, yang cinta damai dan pluralis, rasanya pantas 
gelar itu disematkan kepadanya. Apakah sepak terjang Soeharto cukup 
sepadan untuk dianugerahi gelar pahlawan ?
Galibnya, jika ingin 
memberikan gelar pahlawan kepada seseorang, harus ditimang seberapa 
besar peran positifnya bagi nusa dan bangsa. Dalam hal ini, Soeharto 
cukup memberikan andil terhadap pembangunan bangsa. Bayangkan pada masa 
orde baru pertumbuhan ekonomi negeri ini mencapai angka yang 
mencengangkan banyak pihak. Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar
 7 persen, tampillah Indonesia sebagai macan asia. Namun benarkah 
Seoharto begitu “suci” dengan melihat keberhasilan pembangunannya, dan 
pantas digelari sebagai pahlwan? Sabar dulu.
Di balik itu, 
berserakan fakta-fakta sejarah yang kelam tentang bapak pembangunan ini.
 Fakta-fakta sejarah tersebut, hingga detik ini belum diberi ruang yang 
cukup untuk didiskusikan oleh publik karena pemerintah kita masih kaku 
dalam menafsirkan sejarah dan menutup pintu untuk berbagai versi 
lainnya.
Mari kita lihat satu persatu fakta sejarah tersebut. 
Fakta sejarah pertama, tentu saja seputar peristiwa 30 September 1965. 
Menurut versi resmi salama ini, peristiwa tersebut didalangi oleh PKI, 
karena ingin merebut kekuasaan. Namun ada beberapa versi yang mengatakan
 bahwa peristiwa 30 September 1965 merupakan buah dari upaya intelijen 
asing dalam hal ini CIA dan MI6 Inggris. Seperti kita ketahui bersama, 
dekade 1950-an hingga1960-an arah politik Bung Karno semakin keras 
terhadap negara-negara imperialis, Amerika dan sekutunya. Dalam situasi 
seperti itu, mau tidak mau Bung Karno harus menggabungkan diri dengan 
kekuatan-kekuatan yang juga anti terhadap negara-negara kolonial 
tersebut. Kebetulan negara-negara yang se-ide dengan politik Bung Karno 
adalah negara-negara yang berpaham komunis. Maka terciptalah poros 
Jakarta-Peking-Hanoi-Pyongyang. Indonesia juga mensponsori berdirinya 
Conference of New Emerging Forces (Conefo) sebagai badan tandingan dari 
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 
Di dalam negeri, satu-satunya 
pendukung setia politik konfrontatif Bung Karno adalah PKI. Secara 
perlahan partai tersebut makin mendekati pusaran kekuasaan. Tak ingin 
Indonesia menjadi “merah” CIA menjalin kontak dengan agen-agen AD 
Indonesia yang juga berseberangan dengan PKI dan Bung Karno untuk 
melakukan provokasi agar bisa membersihkan PKI dan pendukung-pendukung 
Bung Karno. Apalagi pada dekade tersebut perang dingin antara AS kontra 
Uni Sovyet telah berada pada titik kritisnya. Versi terakhir inilah yang
 penulis yakini kebenarannya. Peristiwa internal Indonesia tidak mungkin
 berdiri sendiri, tapi ada anasir-anasir asing yang bermain di dalamnya.
Selepas
 peristiwa itu, terjadi kampanye besar-besaran bahwa PKI dan 
simpatisannya harus dibersihkan dari persada Nusantara. Alhasil tercatat
 ribuan oang meregang nyawa, sebagian ditahan tanpa didahului oleh 
persidangan, bahkan tidak sedikit yang dibuang ke Pulau Buru. Semua itu 
terjadi pada masa Soeharto berkuasa secara de facto. Apakah layak jika 
memang benar petinggi-petinggi PKI yang merencanakan kudeta dengan 
membersihkan jenderal-jenderal AD tersebut, harus dibayar dengan 
pelanggaran HAM terhadap begitu banyak orang? Bahkan para “komunis” itu 
pun selepas dari tahanan harus memperoleh stigma sebagai komunis jahat 
yang harus diwaspadai, hingga anak-cucu mereka pun terkena imbas dan 
kehilangan hak-hak mereka sebagai warga negara. Lagi-lagi hal ini 
dipelihara selama rezim orde baru berkuasa.
Di samping peristiwa 
1965, tercatat pula beberapa peristiwa pelanggaran HAM lainnya seperti 
invasi ke Timor-Timur, penembak misterius (petrus), penculikan aktivis 
pro-demokrasi peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, Situbondo dan lain 
sebagainya. Semua itu terjadi pada masa kepemimpinan orde baru dan 
melibatkan petinggi militer. Itulah wajah HAM di Indonesia semasa 
Soeharto berkuasa. Bagaimana dengan bidang-bidang lainnya?
Fakta 
sejarah kedua, adalah pembangunan ekonomi di bawah kepemimpinan 
Soeharto. Ketika keadaan sekitar tahun 1966 yang makin panas dengan 
gencarnya aksi-aksi demonstrasi menuntut pembubaran PKI yang disponsori 
oleh TNI-AD, Soekarno “dipaksa” untuk menandatangani empat produk 
Undang-Undang (UU) yang menjadikan Indonesia sebagai subordinat dari 
pihak asing (Revrisond Baswir: 2008) Keempat UU tersebut adalah (1) UU 
No.7/1966 tentang penyelesaian utang-piutang antara pemerintah Indonesia
 dan pemerintah Belanda; (2) UU No.8/1966 tentang pendaftaran Indonesia 
sebagai anggota Asian Development Bank (ADB); (3) UU No.9/1966 tentang 
pendaftaran kembali Indonesia sebagai angota Dana Moneter Internasional 
(IMF) dan Bank Dunia; dan (4) UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
 (PMA)
Padahal sebelumnya, pada tahun 1965 presiden Soekarno 
mengeluarkan UU.No.16/1965 yang isinya kurang lebih menolak segala macam
 bentuk ketelibatan modal asing. Berbekal empat UU di atas itulah, 
Soeharto membangun ekonomi Indonesia ke arah ekonomi neoliberalisme, 
dengan dukungan badan-badan dunia seperti IMF dan Bank dunia melalui 
peminjaman hutang kepada Indonesia yang harus dibayar hingga detik ini. 
Pada
 tahun 1967, dalam sebuah konferensi yang disponsori oleh perusahaan 
Timelife, direncanakan pengambilalihan bisnis Indonesia yang dihadiri 
oleh pebisnis besar seperti David Rockefeller, dan lain sebagainya. 
Wakil pemerintah Indonesia sendiri adalah Adam Malik dan Sri Sultan 
Hamengkuwono IX. Dalam konferensi yang berlangsung selama tiga hari itu,
 dibuat kebijakan yang akan menguntungkan perusahaan-perusahaan besar 
tersebut untuk masuk ke setiap sektor. Perusahan-perusahan tersebut 
kemudian menyusun infrastruktur hukum di Indonesia untuk kepentingan 
investasi mereka (John Pilger: 2002) Sekali lagi, inilah bukti Indonesia
 menghambakan diri di hadapan pihak asing pada zaman Soeharto.
Itulah
 beberapa fakta sejarah yang makin menunjukkan sebenarnya kepada siapa 
Soeharto mengabdikan kekuasaannya. Masih banyak fakta sejarah lainnya 
yang makin menampilkan wajah lain dari Soeharto yang selama ini selalu 
diagung-agungkan oleh banyak pihak. Seperti rekayasa sejarah Serangan 
Umum (SU) 1 Maret, pengekangan hak berpendapat dan berkumpul di bidang 
politik, penafsiran Pancasila seara kaku yang tidak membuka ruang 
dialog, lalu menumbuhkembangkan benih-benih korupsi, kolusi dan 
nepotisme yang melibatkan kroni-kroninya.
Orang yang berpendapat 
bahwa Soeharto layak digelari pahlawan, sejatinya menutup mata akan 
sejarah yang ditorehkan oleh Soeharto, termasuk partai Golkar yang 
selama ini getol menginginkan agar gelar itu disematkan kepada jnderal 
bintang lima itu. Dalam perjalanan sejarah, Golkar memang menjadi 
kekuatan penopang Soeharto bersama militer. Jadi Golkar berkepentingan 
mengegolkan orang yang selama ini “berjasa” membesarkan Golkar. Kini 
terlihat jelas wajah Golkar yang tidak reformis.
Dengan melihat 
fakta-fakta sejarah yang telah diulas di depan, apakah layak Soeharto 
dianugerahi gelar pahlawan? Penulis dengan tegas mengatakan tidak. 
Bagaimana dengan Anda?








Source
No comments:
Post a Comment