Partai di tahun 2014
Suatu pergerakan sudah semestinya selalu didampingi oleh ideologi. Ideologi menjadi faktor sangat krusial, karena menentukan identitas dan ruh suatu pergerakan itu sendiri. Demikian pula ketika pergerakan dilembagakan secara formal menjadi sebuah partai politik. Ideologi dalam suatu partai, sejatinya harus menjadi suluh bagi kader-kadernya. Karena kedudukannya yang penting inilah, kita perlu mengetahui ideologi suatu partai agar dapat mengenal jatidirinya, memahami jalan pikir, dan bagaimana kita menyikapinya. Ideologi resmi partai dapat kita ketahui dari apa yang tertulis dalam anggaran dasarnya, akan tetapi ideologi sesungguhnya justru dapat kita ketahui dari aktifitas politik yang mereka jalani. Sering kali ideologi tertulis mereka tidak sejalan dengan aktifitas politik mereka.
Pada tahun ini, pemilu akan diikuti oleh lima belas partai politik. Dua belas parpol nasional dan tiga parpol lokal Aceh. Kedua belas parpol nasional terdiri dari sembilan parpol Nasionalis dan tiga parpol Islamis. Yang merupakan partai Nasionalis adalah: Partai NasDem (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), Partai Demokrat (Demokrat), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Sedangkan yang merupakan partai Islamis adalah: Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Kemudian partai lokal Aceh terdiri atas: Partai Damai Aceh (PDA), Partai Nasional Aceh (PNA), dan yang terakhir Partai Aceh (Aceh).
Untuk hal ideologi atau asas partai nasional terdiri atas: delapan berideologi Pancasila termasuk segala penambahannya, tiga berideologi Islam, dan satu partai berideologi lima hal yang terdiri dari kelima sila Pancasila. Semua partai Nasionalis mengambil Pancasila sebagai dasar ideologinya, meski sejatinya Pancasila tidak pernah dirancang para founding fathers kita untuk memiliki kapasitas menjadi sebuah ideologi [baca Pancasila: Sebuah Pseudo-Ideology]. Beberapa partai juga tidak mewakili entitas politik Indonesia yang sesungguhnya, mereka ini adalah golongan liberal dan sisa-sisa dari shadow entity orde sebelumnya [baca Tiga Entitas Politik Indonesia]. Dan bila dikupas lebih teliti lagi akan terdapat perbedaan-perbedaan yang lebih mendasar tentang asas atau ideologi parpol tersebut, terutama pada partai-partai nasionalis. Hal ini menjadi penting agar kita semua mengetahui tentang siapa-siapa yang sedang ‘bermain kartu’ dalam pemilu kali ini.
Partai berbasis massa
Sejatinya, sebuah partai politik yang berbasis massa adalah partai yang tidak memiliki ideologi dalam pergerakannya. Partai seperti ini akan, dan hanya akan, mengandalkan ikatan networking sebagai kekuatan utamanya. Ciri sebuah partai berbasis massa adalah tidak menyebutkan ideologi atau asasnya secara tegas, dan yang dijadikan pedoman partai adalah kepentingan yang dimiliki jaringan dari massa yang menjadi basisnya. Ternyata, partai berbasis massa ternyata tidak mencerminkan secara keseluruhan atas massa yang menjadi basisnya. Partai nasionalis yang berbasis massa hanya ada dua, yaitu PKB dan PAN.
PKB adalah partai Nasionalis dengan basis massa warga Nahdliyin. Meskipun berbasis massa ormas Islam terbesar, ternyata pergerakan PKB bukan berlandaskan Islam, melainkan atas dasar ikatan jaringan warga Nahdliyin dengan kemasan nasionalisme. Secara resmi, PKB berasaskan lima hal, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indondesia.” (Pasal 3 AD PKB). Akan tetapi perlu digaris bawahi, meski kelima asas tersebut sama persis dengan isi Pancasila, tetap tidak bisa disebut berasas Pancasila, karena dalam anggaran dasarnya tidak pernah disebut secara tegas berasas Pancasila. PKB punya sifat terbuka meski berbasis massa Nahdliyin, maka turut diminati juga oleh golongan selain Nahdliyin bahkan lintas agama. Untuk sebuah partai yang berbasis massa Islam, dalam aktifitas politik, PKB terlihat lebih pragmatis dan liberal. Tokoh-tokohnya pun merupakan warga Nahdliyin yang giat mempromosikan nilai-nilai liberal seperti pluralisme, multikulturalisme, sekularisasi negara, feminisme, HAM, dan paham-paham liberal lainnya. Maka tak heran, meski PKB beranggotakan lintas agama, tetap saja tokoh-tokohnya merupakan tokoh dari berbagai agama namun berpaham liberalisme. Karena seorang liberal hanya dapat bersinergi dengan liberal lainnya [baca Tinjauan Atas Pikiran Islam Liberal].
Sama halnya dengan PAN yang merupakan partai Nasionalis berbasis massa Muhammadiyah. PAN yang berbasis massa ormas Islam tertua juga hanya berlandaskan ikatan network warga Muhammadiyah dengan bingkai nasionalisme. Ideologi PAN secara resmi adalah “Berdasarkan Pancasila dan berasaskan akhlak politik berlandaskan agama yang membawa rahmat bagi sekalian alam”. (Pasal 4 ayat 1 dan 2, AD PAN). Sebuah ideologi yang tidak dinyatakan secara tegas arah dan latar belakangnya. Dengan sifat terbuka yang dimilikinya, PAN tidak hanya beranggotakan massa Muhammadiyah tapi juga diminati oleh mereka yang non-Muslim. Petinggi dalam PAN juga banyak yang beraliran liberal, meski masih ada sedikit yang beraliran nasionalis namun keberadaan mereka masih kalah populer dengan golongan liberalnya. Aktifitas politiknya juga seperti PKB yang pragmatis dan liberal. Walau tak sekental PKB, PAN juga mempromosikan nilai-nilai liberalisme. Maka PAN bisa akrab dengan partai lain yang juga beraliran liberal.
Partai jelmaan Shadow Entity
Setelah rezim junta militer runtuh, shadow entity yang dulu pernah berkuasa telah ikut bertransformasi dan mengikuti perpolitikan terkini. Partai seperti ini didirikan oleh mantan perwira militer dari orde Suharto dan menjalankan partainya seperti GOLKAR dimasa lalu. Shadow entity pada dasarnya tidak pernah berideologi, sehingga partai bentukannya pun juga tidak berideologi. Secara resmi partai ini mencantumkan ideologi di dalam anggaran dasarnya, tetapi segala kebijakan dan tindakan partai sama sekali tidak menunjukkan adanya ideologi. Aktifitas politiknya lebih mengarah pragmatik kaku ala junta militer dengan tokoh-tokoh sentral bekas anggota militer. Yang dijadikan ideologi oleh partai shadow entity adalah “Ideologi Pancasila”. Walau Pancasila tidak pernah dilahirkan sebagai ideologi, mereka masih memandang Pancasila sebagaimana yang diajarkan orde Suharto [baca lagi Pancasila: Sebuah Pseudo-Ideology]. Partai yang merupakan jelmaan shadow entity adalah GERINDRA, Hanura, dan PKPI.
GERINDRA adalah partai Nasionalis yang secara resmi berideologi “Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. (Pasal 5 AD GERINDRA). Pancasila ditempatkan sebagai ideologi, persis yang dilakukan Suharto pada masanya, dengan sedikit perbedaan yang juga menyertakan UUD45 sebagai ideologi juga. Tokoh sentral GERINDRA adalah bekas militer dari kalangan Kopassus yang notabene juga merupakan bagian dari shadow entity yang pernah berkuasa pada orde sebelumnya. Cara pandang, sikap, dan langkah-langkah yang diambil sangat mirip dengan gaya partai boneka dimasa lalu, yang tidak mencerminkan adanya ideologi. Bahkan partai sangat bergantung dengan tokoh sentralnya. Segala kebijakan dan keputusan berada di tokoh sentral semata, bukan pada partainya.
Hanura juga merupakan partai Nasionalis yang menurut anggaran dasarnya berideologi “Pancasila”. (Pasal 11 AD Hanura). Ideologi Pancasila yang dianutnya sangat mirip dengan konsep Orde Suharto tanpa ada perbedaan sedikit pun. Hanura didirikan oleh sekelompok purnawirawan militer dengan didukung beberapa cendikiawan yang kini diketuai oleh mantan militer. Ketua umum yang sekaligus menjadi tokoh sentral partai ini, kini turut didukung dan didampingi oleh pengusaha media sebagai ‘sidekick’ sang tokoh sentral. Kehadiran sidekick berperan sebagai unsur pendukung partai, untuk hal yang tidak mampu dilakukan oleh shadow entity secara mandiri. Sidekick akan menjadi pemodal partai, publikasi-promosi, simbol etnis, dan simbol ‘de-militerisasi’. Sidekick pun juga memiliki simbiosis yang menguntungkan diri dan kelompoknya. Walau metode dan cara kerja partai masih serupa dengan partai shadow entity lainnya, secara pragmatik Hanura masih memiliki kelebihan diatas partai sejenis lainnya dengan memiliki sidekick tersebut.
Partai shadow entity yang terakhir adalah PKPI. PKPI merupakan partai Nasionalis yang memiliki ideologi “Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945” (Pasal 4 AD PKPI) sebagai ideologi resminya. Cara pandang partai ini atas Pancasila adalah ‘setali tiga uang’ dengan yang lainnya. Aktifitas politiknya juga serupa dengan model partai boneka junta militer. Pendiri dan tokoh-tokohnya banyak dari kalangan mantan militer. Termasuk tokoh sentral yang saat ini dijadikan motor penggerak partai karena dianggap memiliki pengalaman sebagai gurbernur Jakarta. Meski dengan latar belakang partai seperti itu, PKPI tidak terlalu bergantung dengan tokoh sentralnya alhasil PKPI tetap menjadi partai pragmatik yang kaku.
Perlu dicatat, meski ketiga partai tersebut berasal dari unsur yang sama dimasa lalu, bukan berarti dapat bekerja sama satu dengan yang lainnya. Justru ketiganya merupakan rival antara yang satu dan lainnya. Sebab rivalitas antar perwira militer sudah lama terjadi sejak mereka masih didalam tubuh militer, bahkan ketika mereka berkuasa sebagai junta militer. Seandainya ada aliansi diantara mereka, bisa jadi merupakan pernyataan kalah dari salah satu pihak dan bersiap-siap menyerahkan tongkat estafet shadow entity kepada ‘rekan seperjuangannya’. Partai jelmaan shadow entity seperti ini tidak pernah mencerminkan partai Nasionalis sebenarnya.
Partai berideologi Liberal
Partai dengan ideologi Liberal muncul bersamaan dengan reformasi. Karena masyarakat liberal tidak pernah menjadi bagian dari entitas politik Indonesia, maka partai-partai seperti ini ‘menyamarkan’ dirinya dengan berideologi Pancasila. Sebab hanya dengan berideologi Pancasila keberadaan partai ini dapat ‘diterima’ oleh masyarakat Indonesia. Identitas asli mereka yang liberal akan dengan sendirinya tertolak oleh massa karena bertentangan dengan Sosialisme Indonesia. Ideologi Liberal mereka dapat dilihat dalam aktifitas politiknya yang “Quid pro Quo”. Seluruh aktifitas politiknya adalah transaksional, siapa-dapat-apa. Partai yang sejatinya berideologi Liberal ini hanya ada dua, yaitu GOLKAR dan Demokrat.
GOLKAR pada masa orde Suharto merupakan partai boneka dari rezim junta militer. Sejak reformasi digulirkan, partai ini melakukan mekanisme ‘bertahan hidup’ dengan melakukan banyak perubahan pada partai ini untuk pencitraan bebas dari pengaruh orde Suharto, mulai dari menyingkirkan unsur militer, paradigma baru, dan langkah-langkah pencitraan lainnya. Akibatnya setelah bebas pengaruh militer, GOLKAR kini bersifat liberal. GOLKAR digolongkan sebagai partai Nasionalis dengan ideologi resmi “Pancasila” (Pasal 5 AD GOLKAR). Cara pandang terhadap Pancasila masih seperti orde Suharto yang dijadikan ideologi keramat. Akan tetapi seluruh aktifitas politiknya tidak mencerminkan adanya aktifitas ideologis, yang ada hanyalah pragmatisme. Model Quid pro Quo yang dijalankan GOLKAR adalah model yang lebih pasif. Dengan kondisi ini, GOLKAR tidak memiliki tokoh sentral yang kuat, karena dalam tubuh GOLKAR sendiri terbagi atas faksi-faksi yang masing-masing mencoba ‘merebut’ kursi kepemimpinan partai. Arena politik yang dimainkan juga lebih sempit dan cenderung mencari titik aman.
Demokrat menjadi partai paling fenomenal belakangan ini. Sebagai partai yang mengkalaim dirinya partai Nasionalis, Demokrat membedakan asas dan ideologi didalam anggaran dasarnya. Asas Demokrat adalah “Pancasila” (Pasal 2 AD Demokrat) dan ideologinya adalah “Nasionalis-Religius” (Pasal 3 AD Demokrat). Sebuah pengertian yang ambigu hasil sinkretisme Pancasila [baca Pancasila: Sebuah Pseudo-Ideology]. Hal ini justru menunjukkan Demokrat tidak memiliki ideologi sesungguhnya. Aktifitas politik yang dijalankannya juga menguatkan hal itu, pragmatisme murni yang mengarah pada Liberalisme-Kapitalisme. Berbeda dengan GOLKAR, Demokrat menjalankan model Quid pro Quo ala Amerika yang lebih progresif. Dapat kita lihat segala sikap, cara pandang, dan kebijakan partai sangat-sangat meniru partai politik Amerika terutama sesama Partai Demokrat. Termasuk dengan adanya rekayasa penokohan ala Amerika pada tokoh sentralnya. Walaupun tokoh sentral Demokrat berlatar belakang militer, sifat-sifat shadow entity sudah tidak nampak lagi padanya. Hasil interaksi dan didikan selama ini telah mengubah tokoh sentral berideologi Liberal, terutama selama berada di Fort Bragg Amerika.
Partai berideologi Marhaenisme
Partai dengan ideologi Marhaenisme merupakan partai Nasionalis yang telah ada sejak tahun 1927. Ideologi Marhaenisme memang merupakan bagian dari negeri ini dan turut berevolusi bersama dua entitas politik lainnya hingga Indonesia merdeka (baca Tiga Entitas Politik Indonesia). Pada kondisi terkini, ideologi Marhaenisme tidak dianut secara terbuka oleh partai politik, akan tetapi terlihat dari aktifitas politiknya yang mengarah kepada paham Marhaenisme. Hal ini dapat dipahami, mengingat ideologi Marhaenisme pernah mengalami hibernasi dimasa orde Suharto, mengakibatkan generasi sekarang ‘terputus’ dari garis politik Marhaenisme sebelumnya. Sehingga secara resmi partai-partai ini masih mencantumkan Pancasila sebagai ideologi resmi mereka, sebagai dampak dari sisa-sisa kooptasi rezim junta militer. Partai yang saat ini menunjukkan adanya ideologi Marhaenisme, hanya ada dua, yaitu NasDem dan PDI-P.
NasDem merupakan partai baru yang mulai masuk gelanggang pemilu tahun ini. NasDem adalah partai Nasionalis yang resminya berideologi “Pancasila” (Pasal 2 AD NasDem). Sifat-sifat Marhaenisme-nya tampak dari aktifitas politik yang lebih ideologis dan teratur dibanding partai lainnya yang tak berideologi. Cara pandang partai bukan sekedar jargon-jargon politik, tapi sudah mulai melirik hal-hal yang lebih mengarah kepada keindonesiaan yang lebih dalam lagi. Langkah yang diambil juga mencoba mengulangi langkah Soekarno dahulu. Dengan mencoba mengulangi konsep Revolusi Indonesia ke dalam konsep yang bernama ‘Restorasi Indonesia’. Konsep Restorasi Indonesia yang diusungnya memiliki kemiripan dengan Revolusi Indonesia, hanya dengan bentuk yang lebih moderat. Tokoh sentral NasDem yang juga menjadi Ketua Umum partai adalah seorang pengusaha media yang sebelumnya pernah berkecimpung di partai GOLKAR. Tokoh sentral ini juga mempunyai kemampuan orasi dan retorika yang lebih baik dari semua tokoh sentral yang dimiliki partai lain.
PDI-P memang merupakan kelanjutan partai Nasionalis-Marhaenisme. Walaupun menurut anggaran dasarnya, tertera “Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sesuai jiwa dan semangat lahirnya pada 1 Juni 1945” sebagai ideologinya (Pasal 5 ayat 1 AD PDI-P), PDI-P masih menunjukkan adanya sifat-sifat Marhaenisme dalam aktifitas politiknya. Masih dalam anggaran dasar, PDI-P juga menyantumkan jati diri partai berupa “Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial” yang semakin memperkuat ke-Marhaenisme-annya (Pasal 5 ayat 2 AD PDI-P). Ketiga hal tersebut merupakan bagian dari perjanjian Pancasila bersama entitas lain, yang merujuk pada Kebangsaan (Ideologi Marhaenisme/pihak Nasionalis), Kerakyatan (sistem Demokrasi Terpimpin), dan Keadilan Sosial (sistem Ekonomi Kerakyatan). Untuk lebih jelasnya baca Pancasila: Sebuah Pseudo-Ideology. Tokoh sentral partai ini adalah keturunan langsung dari Soekarno, yang menjadi simbol dan penerus dari Marhaenisme. Bahkan ada semacam tradisi di dalam PDI-P untuk selalu menempatkan keturunan Soekarno sebagai tokoh sentral partai. Untuk tokoh-tokoh lainnya tidak melulu berideologi Marhaenisme, banyak dari mereka yang berlatar belakang Kiri bahkan sampai berlatar belakang Liberal. Hal ini terjadi karena PDI-P bersifat terbuka.
Partai berideologi Islam
Munculnya golongan Islamis dalam perpolitikan nasional bermula dari pergerakan pada tahun 1905. Seluruh parpol Islam yang ada kini, kesemuanya mengakar pada pergerakan tahun 1905 tersebut. Dari dulu hingga sekarang masih konsisten dengan ideologi Islam, walau sempat ada pasang surut. Pada orde Suharto, golongan Islamis pernah ditekan dan mengalami masa sulit. Memasuki reformasi, golongan Islamis memulai kebangkitannya lagi dan bersaing dengan partai Nasionalis. Meskipun berasal dari satu akar pergerakan, keberadaan parpol Islam sekarang terbagi ke dalam tiga partai besar berdasarkan latar belakang massa. Partai Islam yang kini eksis dalam perpolitikan Indonesia adalah PKS, PPP, dan PBB.
PKS adalah partai Islam yang secara resmi berideologi “Islam” di dalam anggaran dasarnya (Pasal 2 AD PKS). Latar belakang massa PKS adalah massa Tarbiyah, yang bermula dari gerakan dakwah kampus. Ketika lahir ditahun 1998 sebagai Partai Keadilan, dikenal sebagai partai Islam yang militan dan mengangkat Syari’at Islam sebagai platform perjuangan. Kemudian pada tahun 2003, PK berubah menjadi PKS untuk mengikuti pemilu tahun 2004. PKS bergerak sebagai partai kader, tidak seperti partai lain yang bergerak sebagai partai massa. Tokoh-tokoh sentral PKS, meskipun tidak terlalu menonjol, merupakan tokoh yang dikenal kadernya, tetapi tidak begitu akrab dengan massa diluar kader. Pada tahun 2010, PKS mengambil langkah ‘percobaan’ dengan menjadi partai terbuka dan mengganti perjuangan Syari’at menjadi “pokok-pokok ajaran Islam dalam berpemerintahan”.
PPP merupakan partai Islam yang memiliki perjalanan panjang. Partai yang resminya berideologi “Islam” ini (Pasal 2 AD PPP) merupakan penggabungan empat partai Islam pada tahun 1973. Latar belakang massa PPP sekarang adalah kebanyakan dari kalangan Nahdliyin yang masih berideologi Islam. PPP pernah mengalami pahitnya rezim junta militer Suharto, menjadi partai yang ditekan dan dijadikan ‘penggembira’ pemilu orde Suharto. Setelah memasuki reformasi, PPP mulai beridentitas Islam lagi, meski masih terpengaruh sisa-sisa kooptasi Suharto. Tokoh-tokoh sentral PPP, meski tidak menonjol dalam perpolitikan nasional, mereka masih eksis diantara tokoh Nasionalis lainnya. Meski kini menjadi partai terbuka dan tidak mengangkat Syari’at sebagai platform perjuangan PPP, masih ada kader-kader dalam tubuh partai yang mencoba mengangkat isu Syari’at sebagai wacana politiknya.
PBB adalah partai Islam yang berdiri pasca reformasi. Partai yang berideologi “Islam” (Pasal 3 AD PBB) ini mengklaim sebagai kelanjutan Partai Masyumi dan masih konsisten dalam perjuangan Syari’at Islam. Latar belakang massa PBB kebanyakan berasal dari kalangan Muhammadiyah yang masih konsisten dengan ideologi Islam. Tokoh sentral PBB menjadi salah satu tokoh nasional yang aktif dalam perpolitikan nasional. Keadaan terakhir PBB yang mengalami penurunan suara yang signifikan, partai ini masih dapat diloloskan KPU untuk bertarung dalam pemilu kali ini. Meski masih berplatform perjuangan Syari’at, PBB kini lebih berkonsentrasi pada surviving kelangsungan partainya.
Partai lokal Aceh
Berdirinya partai lokal Aceh adalah buah kesepakatan dari MoU Helsinki. Dinamika partai lokal Aceh juga sangat dinamis seperti halnya partai nasional. Ada partai baru, ada pula yang berganti nama, dan ada juga yang masih aktif sejak pertama berdiri. Diantara partai yang nantinya bertarung di Aceh adalah, PDA, PNA, dan Partai Aceh. PDA dan PNA resminya baru berdiri ditahun 2012. Sedangkan Partai Aceh masih tetap eksis sejak pertama kali lahir di tahun 2007. Untuk PDA dan PNA tidak dapat dipastikan ideologi yang dianutnya, karena keterbatasan publikasi. Partai Aceh, secara resmi berideologi “Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Qanun Meukuta Alam Al-Arsyi” (Pasal 3 AD Partai Aceh). Diperkirakan cara pandang, sikap, dan kebijakan partai kemungkinan berpegang pada etnosentrisme dengan Syari’at Islam yang terintegrasi pada sistem kultural. Pertarungan partai lokal Aceh hanya dapat diketahui secara persis oleh pemain-pemainnya di Aceh.
Kesimpulan
Telah kita telaah bersama, ideologi partai menurut aktifitas politik yang dilakukannya. Cara pandang ideologi seperti ini justru dapat melihat sisi partai yang sesungguhnya. Kita dapat melihat partai yang memiliki dasar pragmatis dengan partai yang masih memiliki dasar ideologis. Partai berbasis massa, partai jelmaan shadow entity, dan partai berideologi Liberal merupakan partai yang pada dasarnya pragmatis. Sedangkan partai berideologi Marhenisme dan partai Islam merupakan partai yang memiliki dasar ideologis.
Seperti yang diungkap diawal tulisan, ideologi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam suatu pergerakan. Dengan ideologilah, partai akan memiliki ruh pergerakan yang menjadi suluh bagi kader dan massanya. Namun kini, partai ideologis mulai cenderung meninggalkan ideologinya dan menuruti pragmatismenya. Akibatnya, partai ideologis mulai ‘kerdil’ karena praktek pragmatiknya. Padahal, sebuah partai ideologis dapat menjadi partai yang lebih besar lagi. Partai ideologis memiliki modal untuk itu. Partai Marhaenis seharusnya konsisten dengan Marhaenismenya, partai Islam seharusnya konsisten dengan Syari’atnya. Partai Marhaenis dan partai Islam harus mulai menggulirkan lagi revolusinya masing-masing, dari situ kita bisa melanjutkan Revolusi Indonesia yang pernah dihentikan rezim junta militer Suharto.
Kita sebagai golongan Islamis sudah sepatutnya bermuara pada partai Islam, sudah seharusnya membangun partai Islam. Sebagai Islamis yang revolusioner, kita harus mulai memutar roda Revolusi Islam lagi secepatnya, karena dalam hal ini kita berlomba dengan partai ideologis lainnya, Marhaenis. Mereka yang lebih dulu berhasil menggulirkan revolusinya yang nantinya akan memegang Revolusi Indonesia.
Sungguh Allah Yang Maha Mengetahui yang akan memenangkan segala urusan-Nya.(Ajm)
Source
No comments:
Post a Comment