Sunday, March 31, 2019

Anomali Partai Solidaritas Indonesia - kumparan.com

Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Biasanya partai politik baru lahir sebagai antitesis dari kekuasaan yang sedang berkuasa. Atau di saat terjadi kekosongan kekuasaan yang membutuhkan kontestasi kompetitif untuk mengisinya. Kemudian di saat kekuasaan baru terbentuk dan dirasa masih belum mampu menyelesaikan masalah dan membereskan proses transisi demokrasi, muncul beberapa partai baru lainya, yang pada tataran kefiguran, sebenarnya masih dimotori oleh tokoh-tokoh lama.

Pada logika pertama, kita pernah menyaksikan kelahiran dan sepak terjang Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai bukti nyata. Partai besutan Budiman Soedjatmiko dan Andi Arief cs tersebut adalah partai yang lahir beberapa waktu sebelum Soeharto lengser. Partai yang kerap dilabeli sebagai partai kiri tersebut benar-benar harus merasakan pahitnya beroposisi nonparlementer terhadap kekuasaan.

Setelah kejatuhan Soeharto, logika kedua berlaku di mana partai-partai baru lainya muncul untuk ikut berlaga dalam kontestasi konstitusional untuk menentukan kekuatan baru pengganti rezim lama yang telah tumbang. Lahirlah Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan (sekarang menjadi PKS), Partai Bulan Bintang, dan beberapa partai gurem lainya.

Namun dalam perjalanannya, partai-partai yang lahir dengan logika kedua pun belum mampu menghadirkan konsolidasi ekspektasi publik di dalam kebijakan-kebijakannya.

Pelengseran Gus Dur sebagai presiden yang terpilih pascapemilihan 1999 menjadi titik balik bahwa ternyata tokoh-tokoh yang dinaikan ke puncak kekuasaan belum bisa bersepakat dalam berbagai persoalan kebangsaan. Maka lahir pula kemudian Partai Demokrat, Partai Gerindra, Hanura, lalu Nasdem. Rerata tokoh sentralnya adalah tokoh lama yang pernah eksis berperan di dalam salah satu partai lama.

Dalam tahun-tahun selanjutnya, setelah proses demokratisasi semakin mendalam, beberapa model kelahiran partai baru mulai muncul. Setelah Demokrat dan SBY berkuasa selama 10 tahun, lalu partai oposisi ketika itu--PDI dan koalisinya--berhasil mengantarkan kadernya ke puncak kekuasaan, beberapa pembelahan kepentingan politik mulai menajam lagi.

Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Konglomerat Hary Tanoe merealisasikan ketidakpuasan politiknya dengan mendirikan partai baru bernama Perindo. Beliau yang sempat lompat sana lompat sini akhirnya memberanikan diri untuk membangun partai sendiri, didukung jejaring media yang cukup gigantik, untuk memperjuangkan kepentingannya.

Berdirinya Perindo sangat bisa dipahami oleh publik. Tokoh sentralnya terbilang sangat "kaya", masuk kategori elite ekonomi nasional, punya kapasitas yang mumpuni untuk bergaul di kalangan elite lainya, baik elite politik maupun elite ekonomi lainnya. Jika kemudian beliau berhasil mendirikan Perindo malah akan dianggap sangat biasa oleh publik.

Pemakluman publik tersebut mirip dengan pemakluman yang diberikan saat SBY, Prabowo, Surya Paloh, atau Hendro Priyono mendirikan partai sebelumnya. Toh mereka memang punya ketokohan tersendiri, pun dianggap mereka sudah ada dalam makom politik yang memungkinkan untuk itu. Maka saat pentolan MNC Grup tersebut ikut meramaikan pendirian partai baru, publik pun memaklumi dengan cara yang tidak berbeda.

Di sela-sela itu, ada partai yang benar-benar baru, lakon-lakonnya hampir mirip dengan lakon-lakon PRD dua dekade lalu. Diakui sebagai tokoh-tokoh muda, kekinian, dan mengaku mewakili kepentingan anak muda dengan cara dan gaya yang kekinian pula.

Namun berbeda dengan PRD yang tokoh-tokoh utamanya menemukan partai-partai lain yang dianggap cocok untuk mencantelkan visi misi mereka, sehingga ketidakberlanjutan eksistensi PRD dianggap sangat masuk akal. Awalnya karena gagal memenuhi kualifikasi perundangan setelah kontestasi 1999, kemudian mulai meredup, dan satu per satu tokohnya menemukan biduk lainnya yang dianggap layak.

Partai Solidarotas Indonesia (PSI) menempuh cara yang agak anomali. Mengaku mewakili generasi baru, dengan segala diferensiasi kepentinganya, tapi justru mengklaim dengan sangat gamblang sebagai "sekrup" kekuasaan yang sedang berkuasa.

Ilustrasi Partai PSI Foto: Fitra Andrianto/kumparan

Mengapa harus mendirikan partai baru jika ternyata hanya menjadi "sendal kekinian" untuk kekuasaan yang ada. Menjadi "one of fans of existing power" mengandung arti bahwa PSI mendukung kekuasaan yang ada, sekaligus ingin mempertahankan kondisi yang sedang diciptakan oleh kekuasaan yang berkuasa.

Namun harus diingat, kekuasaan yang ada sudah memiliki jejaring kuasa koalisi yang mendukungnya. Dengan mendirikan partai baru untuk mendukung, berarti tidak satu pun partai pendukung kekuasaan yang berkuasa yang cocok dengan kepentingan PSI sehingga harus mendirikan partai baru, tapi pada ujungnya tujuannya justru memasang badan untuk kekuasaan yang sama.

Yang dilakukan PSI sejatinya hanya menambah kamar di rumah yang sama, untuk penghuni baru yang ingin diakui sebagai bagian dari keluarga besar koalisi pendukung kekuasaan.

Yang dilakukan PSI sejatinya hanya menambah kamar di rumah yang sama, untuk penghuni baru yang ingin diakui sebagai bagian dari keluarga besar koalisi pendukung kekuasaan.

Dengan begitu, alasan kelahiran PRD terasa jauh lebih masuk akal secara politik ketimbang alasan di balik pendirian PSI. Dalam logika tersebut, PSI ibarat "anak kost" yang berjuang habis-habisan untuk menjadi bagian dari keluarga pemilik "kost" dengan cara menyediakan kaveling tanah di samping atau di salah satu sisi bangunan "kost" lama, lalu membangun kamar baru yang melekat ke bangunan lama.

Sementara di sisi lain, PSI mengklaim memiliki "kebaruan" yang layak ditawarkan kepada kekuasaan yang sedang berkuasa. Bagaimana menjelaskan ini? Tampaknya sederhana, yakni faktor kemalasan politik.

PSI ibarat anak yang pemalas untuk memperjuangkan sesuatu "kebaruan" yang mereka bawa, pun malas untuk memperjuangkan "kebaruan" tersebut di hadapan publik nasional, sehingga cara terbaik dan mudah adalah dengan menjadi "kaki tangan" kekuasaan yang ada. Namun susah untuk menjelaskan hal tersebut.

Bagaimana bisa diakui sebagai sebuah "kebaruan", jika ternyata dalam tataran praksis, PSI justru ingin digandeng oleh sesuatu yang lama yakni kekuasaan yang sedang berkuasa. Di sinilah logika di mana PRD jauh lebih layak mendapat kredit poin ketimbang PSI.

Kemudian, apakah kebaruan tersebut berupa cara dan gaya? Cara yang lebih digitalized, milenial, atau gaul? Rasanya semua partai, termasuk penguasa yang berkuasa, juga sedang main di ranah yang sama.

Sehingga tak bisa tidak, sebenarnya yang dibawa oleh PSI bukan kebaruan, tapi hanya "partai baru" yang ingin mendirikan kamar kekuasaan baru di dalam kekuasaan lama, sekalipun harus menyalak layaknya peliharaan penjaga pagar rumah majikan saat lawan-lawan penguasa lama mencoba mengusik ketenangan kekuasaan yang ada.

Sehingga tak bisa tidak, sebenarnya yang dibawa oleh PSI bukan kebaruan, tapi hanya "partai baru" yang ingin mendirikan kamar kekuasaan baru di dalam kekuasaan lama, sekalipun harus menyalak layaknya peliharaan penjaga pagar rumah majikan saat lawan-lawan penguasa lama mencoba mengusik ketenangan kekuasaan yang ada.

Atau apakah PSI sebenarnya hanya wajah baru yang dipakai oleh wajah-wajah lama untuk tetap bisa eksis di dalam permainan kekuasaan? Walahualam, hanya PSI dan Tuhan yang mengetahuinya.

1549861315480341633Tulisan ini adalah kiriman dari user, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan
Source

No comments:

Post a Comment