Friday, November 30, 2018

PENGERTIAN_BUDAYA_POLITIK

title

Patrimonialisme sesungguhnya merupakan bentuk kepemimpinan authoritarian, diktator, di

mana negara dijalankan sesuai kehendak pribadi pemimpin negara (personal rule). Pemimpin

negara memposisikan diri diatas hukum dan hanya mendistribusikan kekuasaan kepada

kerabat dan kroni dekatnya.Seringkali menggunakan kekerasan gunamempertahankan posisi

kepemimpinannya. Pemerintahan patrimonial bersandarkan diri pada tiga unsur yang

membuatnya jadi pemerintahan tradisional dan belum mencapai tahap birokratis dan modern.

(Michels, 1984).1

Unsur-unsur budaya Patrimonialisme:

1. Unsur pertama adalah klientisme

Istilah ini merujuk pada hubungan kekuasaan yang dibangun oleh penguasa dan lingkungan

sekitarnya. Dalam birokrasi modern, pusat loyalitas ada pada impersonal order (hukum).

Namun, dalam klientisme, loyalitas ada pada pribadi penguasa.

2.Unsur kedua adalah kaburnya wilayah publik

Dalam birokrasi modern, wilayah publik dan pribadi sangat terpisah. Segala urusan sang

pemimpin, di luar urusan rumah tangga pribadi, ada dalam wilayah publik. Karena berada di

wilayah publik, urusan itu harus melalui prosedur yang sudah ditetapkan, dan

pertanggungjawabannya mesti transparan. Sedangkan dalam pemerintah patrimonial, batas

wilayah publik dan pribadi dibuat kabur. Bantuan uang dari luar negeri, misalnya, yang

seharusnya berada dalam wilayah publik, dimasukkan ke wilayah pribadi, tanpa keterbukaan

dan tanpa pertanggungjawaban.

3. Unsur Kultural Nonrasional

Birokrasi modern berkembang dalam kultur yang rasional, yang sumber informasi dan

validitasnya dapat diverifikasi dalam dunia yang nyata. Sedangkan corak pemerintahan

patrimonial mengembangkan kultur nonrasional, dalam segala bentuk mistisisme ataupun

kultus individual. Dalam birokrasi modern, sang penguasa ditampilkan sebagai politisi biasa

yang menang pemilu. Sedangkan dalam corak patrimonial, penguasa diberi bobot mistik yang

lebih kuat. Ia digambarkan memiliki kekuatan supernatural tertentu, atau keturunan sebuah

dinasti atau moyang yang mahasakti atau kaliber seorang wali. Dengan mistisisme itu,

loyalitas kepada pemimpin menjadi lebih dalam. Bahkan, informasi yang menjadi landasan

kebijakan publiknya sebagian dianggap turun dari kahyangan, yang tak dapat diverifikasi di

dunia nyata.

Patrimonialisme Politik dalam Demokrasi

Patrimonialisme politik adalah istilah untuk menyebut rezim pemerintahan dimana kekuasaan

penguasa tergantung pada kecakapan untuk mempertahankan kesetiaan para elit kelompok.

(Philipus, 2009).2 Kekuasaan politik dalam pemerintahan patrimonial dipertahankan melalui

cara bagaimana seseorang mendapatkan atau mempertahankan kekuasaaanya. Jika demokrasi

selalu di asosiasikan sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat

sebagaimana di ungkap oleh Abraham Lincoln pada abad XVIII , Maka rakyat dalam

pemerintahan patrimonial tak ubahnya hanya menjadi sapi perah (klien) untuk kepentingan

elit politik tertentu dalam mencapai tujuannya. Demokratisasi politik di atas hanya

berlangsung secara prosedural dimana kekuasaan berlangsung dan dipertahankan melalui

cara dan pola tertentu hanya sebagai alat tujuan untuk kepentingan kelompok atau individu.

Fenomena tersebut jelas telah kehilangan identitasnya makna yang sebenarnya, menguatnya

fenomena politik transaksional tidak saja telah meruntuhkan legitimasi demokrasi namun

mengubah wajah demokrasi hanya merupakan alat untuk kepentingan kelompok tertentu.

Meski Robert Dahl, menyebut tiga prinsip utama pelaksanaan demokrasi, yakni (1)

kompetisi, (2) partisipasi, dan (3) kebebasan politik dan sipil. Kompetisi harus dibingkai

dalam proses yang sehat dan luas di antara individu serta dalam kelompok-kelompok

organisasi untuk mencapai kekuasaan pemerintahan, secara periodik dan persuasif. (Keith R,

1983).3

Kesimpulan

Dari sini dapat kita simpulkan bawasannya, Budaya Patrimonialisme adalah unsur yang

buruk terhadap perpolitikan di Indonesia, Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpendapat, sekalipun pascareformasi, sistem patrimonial yang

rentan terhadap praktik nepotisme dan kolusi masih melekat dalam budaya politik Indonesia.

Hal ini terjadi baik di lingkungan partai maupun pemerintahan. (News Liputan 6 .Com,

2012).4

Jika dilihat dari 3 tipe budaya politik di atas, jelas yang bisa membangun sistem politik ke

arah yang lebih baik adalah budaya politik tengan tingkat partisipan. Karena masyarakat

dengan budaya politik partisipan ini percaya mereka dapat mempengaruhi kebijakan yang

diambil dengan turut melibatkan diri di dalamnya. Dengan demikian mereka dapat

meminimalisir timbulnya kebijakan kebijakan yang dapat merugikan kepentingan

masyarakat. Dengan kesadaran tinggi masyarakat dalam berpartisipasi dalam sistem politik

yang ada seperti yang ditunjukkan dalam budaya politik partisipan maka akan memaksa

sistem politik untuk menerapkan sikap budaya politik toleransi. Dimana semakin banyaknya

masyarakat yang aktif di dalam sistem politik maka semakin sulit bagi kaum militan untuk

memaksakan kehendaknya.



Source

No comments:

Post a Comment