title
Patrimonialisme sesungguhnya merupakan bentuk kepemimpinan authoritarian, diktator, di
mana negara dijalankan sesuai kehendak pribadi pemimpin negara (personal rule). Pemimpin
negara memposisikan diri diatas hukum dan hanya mendistribusikan kekuasaan kepada
kerabat dan kroni dekatnya.Seringkali menggunakan kekerasan gunamempertahankan posisi
kepemimpinannya. Pemerintahan patrimonial bersandarkan diri pada tiga unsur yang
membuatnya jadi pemerintahan tradisional dan belum mencapai tahap birokratis dan modern.
(Michels, 1984).1
Unsur-unsur budaya Patrimonialisme:
1. Unsur pertama adalah klientisme
Istilah ini merujuk pada hubungan kekuasaan yang dibangun oleh penguasa dan lingkungan
sekitarnya. Dalam birokrasi modern, pusat loyalitas ada pada impersonal order (hukum).
Namun, dalam klientisme, loyalitas ada pada pribadi penguasa.
2.Unsur kedua adalah kaburnya wilayah publik
Dalam birokrasi modern, wilayah publik dan pribadi sangat terpisah. Segala urusan sang
pemimpin, di luar urusan rumah tangga pribadi, ada dalam wilayah publik. Karena berada di
wilayah publik, urusan itu harus melalui prosedur yang sudah ditetapkan, dan
pertanggungjawabannya mesti transparan. Sedangkan dalam pemerintah patrimonial, batas
wilayah publik dan pribadi dibuat kabur. Bantuan uang dari luar negeri, misalnya, yang
seharusnya berada dalam wilayah publik, dimasukkan ke wilayah pribadi, tanpa keterbukaan
dan tanpa pertanggungjawaban.
3. Unsur Kultural Nonrasional
Birokrasi modern berkembang dalam kultur yang rasional, yang sumber informasi dan
validitasnya dapat diverifikasi dalam dunia yang nyata. Sedangkan corak pemerintahan
patrimonial mengembangkan kultur nonrasional, dalam segala bentuk mistisisme ataupun
kultus individual. Dalam birokrasi modern, sang penguasa ditampilkan sebagai politisi biasa
yang menang pemilu. Sedangkan dalam corak patrimonial, penguasa diberi bobot mistik yang
lebih kuat. Ia digambarkan memiliki kekuatan supernatural tertentu, atau keturunan sebuah
dinasti atau moyang yang mahasakti atau kaliber seorang wali. Dengan mistisisme itu,
loyalitas kepada pemimpin menjadi lebih dalam. Bahkan, informasi yang menjadi landasan
kebijakan publiknya sebagian dianggap turun dari kahyangan, yang tak dapat diverifikasi di
dunia nyata.
Patrimonialisme Politik dalam Demokrasi
Patrimonialisme politik adalah istilah untuk menyebut rezim pemerintahan dimana kekuasaan
penguasa tergantung pada kecakapan untuk mempertahankan kesetiaan para elit kelompok.
(Philipus, 2009).2 Kekuasaan politik dalam pemerintahan patrimonial dipertahankan melalui
cara bagaimana seseorang mendapatkan atau mempertahankan kekuasaaanya. Jika demokrasi
selalu di asosiasikan sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat
sebagaimana di ungkap oleh Abraham Lincoln pada abad XVIII , Maka rakyat dalam
pemerintahan patrimonial tak ubahnya hanya menjadi sapi perah (klien) untuk kepentingan
elit politik tertentu dalam mencapai tujuannya. Demokratisasi politik di atas hanya
berlangsung secara prosedural dimana kekuasaan berlangsung dan dipertahankan melalui
cara dan pola tertentu hanya sebagai alat tujuan untuk kepentingan kelompok atau individu.
Fenomena tersebut jelas telah kehilangan identitasnya makna yang sebenarnya, menguatnya
fenomena politik transaksional tidak saja telah meruntuhkan legitimasi demokrasi namun
mengubah wajah demokrasi hanya merupakan alat untuk kepentingan kelompok tertentu.
Meski Robert Dahl, menyebut tiga prinsip utama pelaksanaan demokrasi, yakni (1)
kompetisi, (2) partisipasi, dan (3) kebebasan politik dan sipil. Kompetisi harus dibingkai
dalam proses yang sehat dan luas di antara individu serta dalam kelompok-kelompok
organisasi untuk mencapai kekuasaan pemerintahan, secara periodik dan persuasif. (Keith R,
1983).3
Kesimpulan
Dari sini dapat kita simpulkan bawasannya, Budaya Patrimonialisme adalah unsur yang
buruk terhadap perpolitikan di Indonesia, Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpendapat, sekalipun pascareformasi, sistem patrimonial yang
rentan terhadap praktik nepotisme dan kolusi masih melekat dalam budaya politik Indonesia.
Hal ini terjadi baik di lingkungan partai maupun pemerintahan. (News Liputan 6 .Com,
2012).4
Jika dilihat dari 3 tipe budaya politik di atas, jelas yang bisa membangun sistem politik ke
arah yang lebih baik adalah budaya politik tengan tingkat partisipan. Karena masyarakat
dengan budaya politik partisipan ini percaya mereka dapat mempengaruhi kebijakan yang
diambil dengan turut melibatkan diri di dalamnya. Dengan demikian mereka dapat
meminimalisir timbulnya kebijakan kebijakan yang dapat merugikan kepentingan
masyarakat. Dengan kesadaran tinggi masyarakat dalam berpartisipasi dalam sistem politik
yang ada seperti yang ditunjukkan dalam budaya politik partisipan maka akan memaksa
sistem politik untuk menerapkan sikap budaya politik toleransi. Dimana semakin banyaknya
masyarakat yang aktif di dalam sistem politik maka semakin sulit bagi kaum militan untuk
memaksakan kehendaknya.
Source
No comments:
Post a Comment